FILSAFAT- Dalam ilmu filsafat hukum semua isu pokok yang menjadi topik utama yang telah dimunculkan dan terumus pada para pemikir Yunani dari masa Homer sampai masa Stoics. di kota negara yunani polis tumbuh dan berkembang, yang telah menjadi dasar dan melatarbelakangi berkembangnya pedamikiran-pemikiran spekulatif Yunani (filsafat) tentang hukum dan pemerintahan, mulai dari penguraian tentang kehidupan di negara kota yang menjadi perumpamaan tokoh Achilles sampai kepada refleksi Plato dan Aristoteles. Akan tetapi, hanya dengan kombinasi kedua faktor pemikiran di atas Yunani dapat sampai pada kematangan pemikiran dalam hal fungsi dan problem hukum di masyarakat. yamg menjadi kacaunya sosial, yakni konflik pada internal, lengsernya pemerintahan yang telah menjadi terus menerus, kekuasaan yang membuat kesewenang-wenangan yang sangat lama yang menguasai Yunani, semuanya telah menjadi stimulus eksternal kepada munculnya sikap perenungan tentang hubungan Keadilan dan hukum positif. sehingga spekulatif yang dalam dan intelektual orang-orang Yunani berkenaan dengan tragedi dan konflik dalam kehidupan manusia sudah meletakkan Yunani, dalam pengetahuan filsafat hukum di mungkinkan merakalah sebagai penyumbang ilmu tersebut, khususnya dalam masalah Keadilan Abadi dikaitkan dengan hukum penguasa.
semasa era yunani tema wacana filsafat hukum muncul
dan menkristal.
Persoalan paling pertama dan utama adalah tentang
Pertentangan atau Konflik antara hukum yang dibuat penguasa (yang dilaksanakan
dalam negara) dengan nilai Keadilan (Justice) yang menjadi ide dari hukum itu
sendiri.
Persoalan ini menguat dan mencapai puncaknya sejak
abad 8 M. Pada masa itu terjadi kekacauan sosial dan ketidakpuasan terhadap
pemerintahan aristokrasi, yang selalu menyelewengkan kekuasaan, di dalam
syair-syair hesiod dan salon telah diilustrasikan ketika memohon kepada Dike,
putri Dewa Zeus, sebagai penjamin Keadilan untuk mengalahkan tirani di muka
bumi, pelanggaran hak-hak rakyat dan keadilan sosial. Dengan kata lain, pemegang
kekuasaan yang dimuliakan rakyat dan dipercaya sebagai pelindung mereka
kenyataannya telah menindas dan tidak memberikan ketentraman kepada mereka.
Dalam kondisi ini, para intelektual dan pecinta kebijaksanaan bangsa Yunani
mengajukan akan adanya Kekuasaan yang lebih tinggi yang menjamin Keadilan riil.
Solon di dalam kalimatnya menyatakan bahwa balasan kesewenang-wenangan
dan ketidakadilan akan dibalas oleh dike dengan kekacauan dan penderitaan
sementara penguasa dan masyarakat yang adil akan mendapat kedamaian dan
kemakmuran.
pertanyaannya Terkait dengan persoalan di atas yaitu;
bagaimana hubungan antara Keadilan Hakiki dengan hukum yang berlaku, dan
Bagaimana seharusnya Hukum yang diberlakukan penguasa terkait dengan “Keadilan
Hakiki” ?
pada Masyarakat Yunani sampai terjadi dilema kepada
kepatuhan terhadap hukum positif pemerintah (yang justru seringkali tidak adil)
atau dengan hukum moral yang manusiawi namun tidak tertulis. Bagaimana hukum
positif yang disebut sebagai hukum buatan manusia dan hukum moral yang
diistilahkan dengan hukum alam ini dapat disejajarkan ? Akhirnya, keduanya
dipertentangkan di mana hukum buatan manusia bersumber dari akal dan hukum alam
bersumber dari Kekuasaan di luar manusia yang dikonsepsi sebagai sakral dan
universal.
pada
bangsa Yunani mayoritas pendapat bahwa produk hukum pemerintah harusnya
dihormati disebabkan hukum ini merupakan pengawal utama ketertiban dalam sebuah
negara agar tercipta keharmonisan dan kedamaian. Referensi pandangan ini
didapati dalam Eumenides tulisan Aeschylus dan Antigone tulisan Sophocles.
Adapun referensi terakhir adalah orasi penguburan yang dikemukakan Pericles.
Orang-orang
peleponnesian melakukan pemberontakan di mulai setelah jatuhnya kejayaan
demokrasi athena.
sampai
akhirnya pencarian pada Keadilan pada bangsa yunani, sehingga baru
setelah tidak ditemukan lagi satu pemerintahan pun yang memberikan
keadilan. Plato dan Aristoteles walaupun sama-sama merujuk, pada sejumlah besar
karya mereka, hukum positif kedudukannya di bawah keadilan abadi, Plato dan
Aristoteles mendefinisikannya secara berbeda. Plato dengan pendekatan
metafisika dan Aristoteles dengan pendekatan rasionalis.
Menurut
plato sesungguhnya hukum keadilan merupakan ilham sedangkan Aristoteles
dalam mengembangkannya menggunakan analisis saintifik kepada prinsip rasional
yang timbulnya di akibatkan tipe-tipe kelompok hukum dan politik yang eksis di
masyarakat
Keduanya
juga berbeda dalam mendefinisikan harmoni dan keseimbangan sebagai kriteria dan
indikator keadilan. Plato dan Aristoteles sama menyatakan bahwa Kebajikan
(Virtue) adalah nilai dasar yang meliputi dan keadilan hanyalah satu aspek atau
satu bagian dari-padanya, dan indikator atau kriteria dari keadilan adalah
harmoni dan keseimbangan yang berlangsung baik pada level individu dan juga
masyarakat.
Sedangkan
plato berpendapat harmoni dan keseimbangan merupakan kondisi keseimbangan
fikiran inner yang tidak bisa di teliti secara akal adapun pendapat aristoteles
harmoni dan keseimbangan merupakan keadaan tengah antara dua titik ekstrim,
secara matematis hal ini terjadi dalam hubungan pemerintahan maupun hubungan
antar manusia.
Perdebatan
akhirnya sampai disini memasuki tema tentang sumber hukum dan konsepsi
hukum.
.
Apakah yang merupakan hukum? apakah sesungguhnya sumber dari hukum dan keadilan
yang hakiki ?
bahwa
jelas bagi kedua filosof ini, hukum merupakan keadilan, sedangkan bagi
Plato hukum Keadilan ini berasal dari luar diri manusia dan diilhamkan
pada kelompok manusia tertentu. Plato Dalam pemikirannya , masyarakat tersusun
dari berbagai kelompok manusia yang mempunyai tingkatan kapasitas dan mempunyai
fungsi masing-masing. Pada tingkatan paling puncak merupakan tempat
Filosof-Raja (Philosopher-Kings) yang mempunyai tugas mengatur negara dan
mengawasi dalam terlaksananya Hukum Keadilan dimaksud. Filosof-Raja menjalankan
Hukum Keadilan karena mendapat perintah dari Dewa dan dipercaya untuk
tersebut karena disebabkan oleh pengetahuan dan kebijaksanaan yang diilhamkan
pada mereka yang akan menjamin mereka agar dapat membuat pemerintahan yang
adil. di sebabkan berasal dari ilham, pelaksanaan Keadilan maka
diserahkan pada penerima ilham tersebut yakni Filosof Raja.
bagi
Plato Hukum Keadilan merupakan ilham kebaikan yang diterima oleh suatu
kelompok individu tertentu dan mereka ini menyampaikannya pada masyarakat
kedalam bentuk hukum.
Aristoteles
berpendapat bahwa sebuah kebaikan termasuk kedalam golongan keadilan yang dapat
dikonsepsi oleh akal intelek manusia karena manusia adalah makhluk dengan dua
sisi karakter; pertama sebagai bagian dari alam dan kedua, sebagai penakluk dan
pengontrol alam. Tubuh fisik manusia menempatkan manusia sebagai makhluk bagian
dari alam, tetapi manusia memiliki akal nurani yang membuat mereka dapat
berkehendak bebas, menguasai alam dan membedakan baik dan buruk. Dengan
mengajukan sebuah konsep karakter ganda pada individu atau manusia ,
Aristoteles berpendapat bahwa Hukum Keadilan dan nilai Kebaikan dapat
ditentukan oleh akal murni manusia. Dan karena akal murni ini adalah aspek kemanusiaan
manusia yang hakiki dan universal maka artinya, nilai kebaikan dan keburukan
yang ditemukan manusia tersebut berlaku dan diterima di mana-mana atau bersifat
universal. Terlihat bahwa akal murni yang dimaksudkan Aristoteles di sini harus
dibedakan dengan akal fikiran manusia yang didasarkan pada kecenderungan nafsu
dan kepentingan manusia secara personal atau kelompok.
Jadi
kalau pendapat Plato tentang Kebaikan dan Keadilan lebih bersifat abstrak
dan mistis sebaliknya Aristoteles lebih bersifat praktis dan rasional.Pemikiran
Aristoteles tentang dualitas karakter dan sifat manusia telah menginspirasi
keseluruhan pemikiran Barat, tidak hanya pemikiran filsafat hukumnya tetapi
juga filsafat secara umum. Konsepsi ini telah membawa Filsafat Yunani kepada level
puncak kematangannya dan telah mendasari rumusan filsafat hukum Scholastik
sekaligus filsafat hukum alam rasionalis; begitu juga pemikiran hukum Kant
sekaligus Hegel; pemikiran-pemikiran hukum John Stuart Mill dan Herbert Spencer
sekaligus juga Del Vechio dan Kohler.
Persoalan-persoalan
pokok filsafat hukum lainnya yang telah diformulasi Aristoteles jawabannya dan
seterusnya menjadi wacana, didiskusikan dan diperdebatkan sepanjang sejarah
adalah :
1. Tentang
Kesamaan di depan Hukum dan Keharusan adanya sanksi bagi pelanggar hukum siapa
saja.
Hal
ini dirumuskan Aristoteles dengan pembagiannya kepada Keadilan ‘Distributif’
dan ‘Korektif’. Yang pertama menyatakan bahwa Keadilan adalah meletakkan
sesuatu pada tempatnya masing- masing dan memberikan hak kebaikan kepada setiap
orang sesuai posisi dan kebutuhan masing-masing dalam masyarakat. Adapun
tentang siapa-siapa yang memiliki hak yang sama, hal ini ditentukan oleh hukum
positif (kebijakan penguasa) yang didasarkan pada prinsip-prinsip etika
praktis. Keadilan ‘Korektif’ adalah prinsip- prinsip tekhnis yang diperlukan
bagi terlaksananya dan berjalannya suatu Hukum dan Keadilan. Hal ini berupa
kompensasi, tebusan, perbaikan bagi orang-orang yang tidak melaksanakan atau
salah melaksanakan suatu tindakan Keadilan. Jadi Hukuman harus diberikan untuk
menebus kejahatan, Perbaikan dan teguran harus dilakukan untuk menebus
kesalahan, dan pembatalan dilakukan untuk memperbaharui hasil yang salah.
Prinsip ini didasarkan pada konsepsi ‘ Themis’, yaitu Dewa Buta yang tugasnya
selalu menyeimbangkan skala dan menjaga keharmonisan di mana saja dan pada
siapa saja tanpa pilih tempat dan orang.
2. Tentang
pembedaan antara ‘Keadilan Alamiah’ dan ‘Keadilan Hukum’ atau dengan istilah
lain antara ‘Hukum Alam’ dan ‘Hukum Positif’.
Keadilan
Alamiah atau Hukum Alam bersumber dari suara nurani kemanusiaan yang hakiki
sedangkan Hukum Positif dari kekuatan kekuasaan manusia yang menetapkan sesuatu
sebagai aturan tanpa pertimbangan dan ukuran adil atau tidak adil.
3. Tentang
keharusan membedakan antara ‘Keadilan Abstrak’ dan ‘Equity’ (Keadilan individu)
Bahwa
hukum positif yang tertulis selalu bersifat generalisasi dan rentan menjadi
kaku dan kejam. Maka hukum positif harus mempertimbangkan perasaan dan moral
individual. Dari wacana inilah lahir prinsip-prinsip equity dan pandangan serta
praktek interpretasi undang-undang.
4. Bahwa
hukum mengikat bagi siapa saja tanpa kecuali
Berkenaan
dengan topik wacana ini Aristoteles melahirkan teori politik hukum tentang kemutlakan
Konstitusi bagi keberlangsungan suatu negara. Selain itu juga berkembang teori
‘Mixed State’—juga dimunculkan Plato sebelumnya—yang menjadi bibit bagi ide
atau teori ‘pemisahan kekuasaan’ dalam negara.
Akhirnya,
karya-karya Aristoteles kenyataannya telah mengangkat seluruhnya tema-tema
pokok filsafat hukum Barat dan telah menyelesaikan persoalan dasar hukum
seperti; Dilema antara keharusan pencarian nilai-nilai absolut dengan kebutuhan
praktis untuk mengukuhkan otoritas hukum positif; Persoalan menetapkan hukum
antara berdasarkan pada Keadilan Ideal atau kepada sumber kekuatan politik;
Persoalan kekakuan dan generalisasi hukum-hukum tertulis berhadapan dengan
fleksibilitas dan perkembangan kebutuhan keadilan individu.
Dua
setengah abad lebih lamanya , masalah-masalah di atas berkembang dari segi
skope, setting sosial serta istilah-istilah tekhnisnya mengikuti perkembangan
masyarakat itu sendiri. Tetapi isu fundamental masih tetap sama dan jawaban
serta solusi yang diberikan juga tidak banyak menyimpang dan berbeda dari yang
telah diformulasikan oleh pemikir-pemikir Yunani tersebut.
Tema-tema
pokok filsafat hukum yang dikemukakan di atas dirumuskan oleh para filosof dan
politikus dan karenanya, bentuk redaksi serta penguraiannya menjadi lebih
filosofis. Ketika perdebatan sampai di hadapan para ahli dan praktisi hukum,
masalah-masalah pokok di atas terjelma ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang
lebih dinamis dan tegas, serta semakin elaboratif.
Bentuk-bentuk
pertanyaan pokok Filsafat Hukum pada era belakangan tersebut yaitu :
a. Berkenaan dengan keberlakuan
hukum, kewajiban dan keharusan mematuhi hukum misalnya :
· Kenapa dan atas dasar apa orang harus mematuhi aturan
hukum ?
· Apa artinya wajib mematuhi hukum ?
· apa artinya kekuatan berlaku hukum ?
· Atas dasar apa aturan hukum dan tata hukum berlaku ?
b. Berkenaan dengan pelaksana aturan
hukum, tentang hubungan kekuaasan dengan hukum :
· Mengapa orang-orang tertentu memiliki kewenangan untuk
memaksakan kepatuhan ?
· Siapa yang berwenang menetapkan dan menyatakan
berlakunya hukum ?
· Atas dasar apa ia memiliki wewenang itu ?
· Apa
artinya wewenang ?
c. C. Berkenaan
dengan definisi hukum dan bukan hukum, kedudukan aturan-aturan dan
kaidah-kaidah :
· Apakah undang-undang atau setiap kewajiban identik
dengan hukum
· Apa ukuran atau kriteria untuk menentukan suatu aturan
adalah hukum
· Apa yang menjadi landasan/ tolak ukur dan kaidah
penilai untuk menguji keabsahan aturan-aturan hukum
· Mana tindakan-tindakan yang menjadi objek aturan hukum
dan aturan bukan hukum
· Apa hubungan aturan hukum dengan aturan bukan hukum
· Apa kedudukan aturan-aturan bukan hukum terhadap hukum
d. d. Berkenaan
dengan status kasus-kasus aktual dan hubungan hukum dengan moral :
· Apakah hukuman mati dapat dipertahankan ?
· Apakah misalnya euthanasia, bunuh
diri, aborsi, judi, pelacuran perlu di ancam dengan hukuman pidana ?
· Sejauh mana transplantasi organ tubuh manusia dan
perubahan kelamin perlu diatur dengan kaidah hukum ?
Semua pertanyaan-pertanyaan di atas baik yang
dilakukan filosof, politikus dan ahli hukum tersebut pada akhirnya akan sangat
tergantung jawabannya pada pertanyaan yang umum dan tua yaitu “Apakah
hukum itu” ?
Dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini selalu
berkembang dan berbeda dari masa ke masa dan tempat. Dapatlah dikatakan bahwa
sejarah filsafat hukum pada hakikatnya dan pada intinya adalah sejarah jawaban
terhadap pertanyaan “Apakah hukum itu” ?
Sumber Bacaan :
1. W.
Friedmann, Legal Theory, Steven & Sons Limited, 1949, hal.
5- 12.
2. Drs.
Lili Rasyidi, S.H, LL.M dan Arief Sidharta S.H, Filsafat Hukum; Mazhab
dan Refleksinya, C.V. Remaja Karya, Bandung, 1989, hal. 13- 15
Posting Komentar untuk "POKOK MASALAH FILSAFAT HUKUM DALAM ALIRAN FILUSUF BARAT"