Filsafat Hukum Pada Era Yunani-
Romawi
A. Pendahuluan
Pada abad VI dan V saat sebelum Masehi( BC) belum ada negara Yunani, tetapi
terdapat kota- kota yang sudah memiliki sistem kehidupan kemasyarakatan yang
tertib semacam Milete, Athena, Sparta dan lain- lain. Tiap- tiap kota berdaulat
penuh meski terkadang beberapa kota tergabung dalam sesuatu lembaga
perserikatan kota. Sistem negeri kota ini diucap Polis. Dengan kehidupan kota
semacam itu, paling utama di Athena timbullah benak tentang negeri serta hukum.
Dalam abad VI serta V saat sebelum Masehi( BC) telah ada pemikir- pemikir yang
menyusun sesuatu sistem filsafat yang lengkap, di mana pemikiran tentang hukum
serta negeri cuma bagian dari sistem filsafat yang merata tersebut.
Filsafat Yunani ini menggapai puncaknya dalam abad IV BC ialah pada
pemikiran Plato serta Aristoteles. Filsafat kedua tokoh ini berikutnya
pengaruhi sejarah filsafat hingga dikala ini.
Pada akhir abad IV sehabis masa Aristoteles, Aleksander Agung menyerbu
polis- polis negara Yunani. Kerajaannya apalagi menggapai Mesir serta segala
kawasan Timur Tengah hingga sungai Indus. Lewat tentaranya Aleksander
menanamkan serta menyebarkan kebudayaan Yunani di negara- negara yang sudah
direbutnya. Setelah kematiannya pada tahun 323 BC pengaruh kebudayaan Yunani
dipertahankan oleh pemimpin- pemimpin kerajaan- kerajaan yang didirikannya.
Dengan demikian sepanjang abad IV serta III BC kebudayaan Yunani disebarluaskan
di mana- mana sehingga jadi kebudayaan dunia. Oleh sebab itu era setelah
Aleksander diucap era Hellenisme, berasal dari kata Hellas maksudnya Yunani.
Dalam abad- abad yang sama kota Roma timbul bagaikan kuasa dunia baru serta
lama kelamaan mengambil alih kekuasaan di wilayah- daerah yang dahulu direbut
Aleksander Agung. Dengan demikian orang- orang Romawi dipengaruhi pula oleh
kebudayaan Hellenisme. Dalam kekaisaran Romawi riset hukum sangat gempar serta
diutamakan sebab riset itu diperlukan buat menciptakan garis- garis
kebijaksanaan yang dibutuhkan buat mengendalikan hidup bersama para masyarakat
serta bangsa- bangsa yang ditundukkannya. Hukum yang mapan tersebut diyakini
bagaikan salah satu aspek yang menimbulkan Romawi bisa bertahan berabad- abad
lamanya hingga abad V setelah Masehi.
Di Zaman Kuno Kehidupan warga negara Yunani dalam era kuno diliputi dengan
atmosfer kesakralan yang mendalam. Namun pemikiran kesakralan mereka itu bisa
dibedakan antara yang primitif serta rasional. Pemikiran religi primitif
meyakini alam bagaikan sesuatu kekuasaan yang mengecam manusia. Karenanya
manusia wajib mengalami alam dengan ketundukan yang penuh teka- teki, suatu
yang tidak bisa dikenal serta dimengerti. Sebab menyandarkan ketundukan pada
kekuatan raga alam serta melaksanakan ketundukan diri buat penuhi aspek modul
hidup hingga pemikiran ini bisa dikatakan bagaikan agama‘ modul’.
Pada fase selanjutnya lahir sesuatu agama dengan menjadikan tokoh- tokoh
mitos bagaikan pihak yang berkuasa. Tokoh- tokoh mitos ini diucap dengan dewa-
dewi Olimpus. Mereka ini merupakan hasil imajinasi ide manusia dengan metode
memproyeksikan kehidupan manusia di alam ini kepada sesuatu kehidupan yang
terletak di atas serta memahami alam ini. Sebab mengaitkan ide serta perenungan
hingga diucap dengan agama ide serta spiritual.
Kedua sistem religi ataupun kesakralan yang sudah mengisi kehidupan warga
Yunani ini jelas- jelas membekas dalam sistem filsafat yang dihasilkan pemikir-
pemikir negara tersebut paling utama filsafat mereka tentang manusia. Dalam
filsafat Yunani manusia terdiri dari 2 bagian; bagian modul ataupun tubuh serta
bagian jiwa ataupun ide. Bagian modul ataupun tubuh manusia merupakan sisi
hitam manusia sebab badan modul manusia buatnya tunduk, rendah serta ketakutan
pada alam serta tidak buatnya bisa menguasai alam. Bagian jiwa ataupun ide
manusia merupakan sisi cerah manusia sebab membuat manusia tidak bergantung
pada alam serta bisa menguasai suatu di balik alam. Roh ataupun jiwa manusia
berasal serta bisa berhubungan dengan alam di atas alam dunia.
Spiritualitas serta rasionalitas yang diistilahkan dengan Logos ini tumbuh
dalam warga yang hidup dalam Polis( negeri kota). Perihal ini sebab dalam Polis
lah warga dapat meningkatkan diri serta akalnya karena tiap- tiap orang hidup
dalam sesuatu ketentuan, dimensi. serta harmoni. Kemudian mencuat kepercayaan
kalau perwujudan Logos yang sangat utama merupakan warga Polis ialah kehidupan
kebersamaan yang tertib, adil, serta damai.
Demikian juga, masih terdapat pula yang senantiasa lebih yakin pada agama
alam kuno. Bagi mereka ini tidak bisa jadi dewa- dewi dapat mengalahkan
kehendak alam yang berjalan.
B. Pemikiran Hukum Pada Di Era Awal
1. Anaximander, Heraklitus, Parmanides.
Dipengaruhi oleh keyakinan yang tumbuh pada masanya hingga bagi Anaximander
hukum itu merupakan aturan- aturan yang berjalan serta ialah ketetapan alam.
Seluruh di alam ini hidup, timbul, serta sirna cocok dengan keharusan-
keharusan alamiah yang telah begitu terdapatnya. Hingga aturan- aturan hidup
bersama wajib disesuaikan dengan keharusan alamiah. Kesesuaian inilah yang
memunculkan keadilan( Dike). Pada Heraklitus sudah terdapat upaya penggabungan
antara keharusan serta ketentuan hukum alam dengan pengertian- pengertian yang
berasal dari Logos. Parmanides malah sudah melangkah kepada pemikiran kalau
Logos merupakan pembimbing arus alam. Alam serta kehidupan memperoleh sesuatu
keteraturan yang jelas serta terencana.
Jadi pada era sangat dini, para filosof memandang hukum terdapat satu,
meliputi semesta alam. Hukum merupakan hukum alam itu sendiri. Hukum alam
tersebut merupakan hukum yang legal serta ialah keharusan alamiah yang telah
demikian terdapatnya, baik semesta alam ataupun manusia tinggal serta tunduk di
dasar hukum alamiah yang ditatap sakral tersebut. Hukum alam jadi hukum positif
serta keduanya belum dibedakan. Di mari tidak nampak sama sekali kedudukan
manusia dalam membentuk hukum.
2. Kalangan Sophis( Abad 5 Saat sebelum
Masehi- BC)
Kalangan Sophis merupakan kelompok kalangan handal yang lam serta manusia
tunduk pada sesuatu kekuatan semacam takdir senantiasa mengkritik serta pekerjaannya
mengajar para kalangan muda Yunani yang mau ikut serta dalam politik instan di
dalam Polis. Di dalam Polis sudah terdapat ketentuan hukum yang cerah.
Keharusan alamiah yang sebelumnya teka- teki serta bertabiat membalas dendam
secara rahasia sudah dimengerti bagaikan hukum yang menjelma dalam undang-
undang Polis serta perealisasian hukum yang adil. Pada masa Polis kehidupan
sudah menggapai sesi yang demokratis. Dalam keadaan ini ketentuan bersama
mengaitkan partisipasi masyarakat sebanyak bisa jadi. Karenanya timbul komentar
misalnya dari Pitagoras kalau masyarakat Polis seluruhnya yang memastikan isi
undang- undang sehingga baik serta adil bukan lagi bergantung dari ketentuan
alam melainkan cuma dari keputusan manusia. Manusia merupakan dimensi dari
segala- galanya.
Komentar Pitagoras kalau manusia memastikan dimensi baik serta kurang baik
merupakan ialah komentar universal para Sophis. Namun, bagi sebahagian mereka
yang melihat keadaan Polis yang kacau serta tirani, baik kurang baik bukan
didetetapkan masyarakat melainkan penguasa. Dalam praktiknya, undang- undang
cuma dibangun oleh orang- orang yang berkuasa. Mereka merumuskan kalau
kesewenang- wenangan jadi sumber hukum.
Jadi, kalangan Sophis yakin kalau sumber hukum bukan Logos melainkan alam
yang dikendalikan oleh kekuatan serta kekerasan penguasa. Dengan ini berarti
hukum tidak bisa dikira normatif lagi sebab tidak menjajaki norma- norma.
Perihal ini pada gilirannya membuka jalur untuk anarkhi( tanpa pemerintah)
serta nihilisme( tanpa keberlakuan nilai- nilai). Di mari telah mulai terdapat
isyarat kalau hukum alam dapat dikendalikan serta ditransfer ke tangan orang
yang berkuasa. Nanti di tangan para filosof dini mulai abad 4 Saat sebelum
Masehi telah terdapat pemahaman tentang kedudukan manusia dalam membentuk
hukum.
3. Socrates( 469- 399 BC)
Socrates sama sekali tidak sepakat dengan pemikiran kalangan Sofis
tersebut. Dia berkomentar kebalikannya kalau terdapat kebenaran serta hukum
yang objektif serta jadi pedoman senantiasa untuk seluruh manusia.
Kebenaran itu hendak dicapai oleh manusia jika mereka dibukakan akalnya
kepada pengetahuan intuitif tentang yang baik serta yang benar yang terdapat
dalam diri tiap manusia sendiri. Karenanya, buat hingga kepada pengetahuan
tersebut manusia wajib dididik melaksanakan refleksi serta perenungan atas diri
sendiri. Pengetahuan ini merupakan semacam roh ilahi dalam diri manusia serta
jadi sumber dari pengetahuan serta kebenaran sejati. Tugas negeri merupakan
mendidik warganya buat bisa memahami diri lewat hukum- hukum negeri. Hingga
prilaku yang utama merupakan taat kepada hukum- hukum negeri baik yang tertulis
ataupun yang tidak tertulis.
Socrates menuntut biar penegak ataupun pelaksana hukum di lapangan
mengindahkan keadilan bagaikan nilai yang meninggikan derjat manusia.
4. Plato( 427—347 BC)
Plato merupakan murid Socrates yang sangat termasyhur. Dia jadi guru
filsafat di Athena di sekolah Akademia. Buat bisa menguasai pemikiran hukum
Plato, terdapat baiknya menguasai dasar- dasar sistem filsafat dia.
Poin dasar filsafat Plato merupakan pembedaan yang nyata antara indikasi(
fenomenon) serta wujud sempurna( eidos). Plato berpandangan kalau di samping
dunia fenomen ataupun yang nampak ada sesuatu dunia lain yang tidak nampak
ialah dunia eidos. Dunia tidak nyata. Yang nyata merupakan dunia eidos. Dunia
eidos merupakan patron serta sempurna untuk dunia fenomen. Begitulah terjalin
pada seluruh wujud serta makhluk di dunia fenomen.
Negara- negara pada dunia fenomen merupakan tidak riil, tidak sempurna,
serta di alam eidos ada negeri yang tertib, adil serta sempurna. Hukum- hukum
di alam eidos merupakan model mutlak untuk ketentuan hidup manusia di dunia.
Ada pula eidos ini sendiri diciptakan olehZat Yang Maha Terdapat, tidak
berganti serta kekal, yang sempurna ndahnya serta baiknya.
Zat tersebut mengantarkan eidos kepada makhluk manusia dalam benak mereka.
Hukum untuk Plato merupakan peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh orang-
orang yang menemukan uraian hendak eidos. Orang- orang ini merupakan sesuatu
kalangan tertentu dalam warga yang mempunyai kebijaksanaan( sophia) sebab
mereka bisa menguasai eidos- eidos tersebut. Mereka merupakan kalangan filosof.
Mereka menduduki kelas atas dalam warga serta memegang pemerintahan. Kelas di
bawahnya merupakan keompok orang yang mempunyai keberanian ataupun kelas
tentara. Kelas 3 ini terdiri dari orang- orang yang mempunyai keutamaan
pengendalian diri serta kesabaran. Mereka merupakan para tukang serta petani
yang memelihara ekonomi rakyat. Keadilan berarti kalau tiap kalangan serta
kelas berbuat apa yang cocok dengan keahlian serta tugasnya tiap- tiap.
Hendak namun, pada kesimpulannya Plato pula mengakui kepentingan hukum yang
diundangkan yang lain. Tadinya dia sangat meyakini kalau kebijaksanaan para
filosof saja telah lumayan buat menuntaskan serta memutuskan seluruh
permasalahan yang mencuat di bermacam keadaan serta suasana. Namun belum lama
dia melaporkan kalau wajib terdapat pula peraturan- peraturan yang terhimpun
dalam undang- undang yang jadi pegangan, buat menaikkan peraturan- peraturan
fatwa ataupun kondisional dari para filosof. Dia pula menekankan kalau
pelanggaran UU wajib dikenakan hukuman yang tujuannya merupakan membetulkan
serta mengobati penyakit moral sang pelakon pelanggaran.
Untuk Plato penyeimbang dalam warga merupakan absolut buat memperoleh
keadilan serta kedamaian. Penyeimbang ini cuma tercapai dari partisipasi serta
kerelaan tiap- tiap kelompok melaksanakan tugas tiap- tiap buat kepentingan
bersama. Jadi, kepentingan bersama lebih diutamakan serta wajib diletakkan melebihi
kepentingan individu. Karenanya disimpulkan kalau pada Plato belum terdapat
hak- hak manusia bagaikan hak orang. Plato baru mengajukan wacana tentang hukum
sipil, itupun masih dalam wujud yang simpel, serta belum memikirkan soal hukum
perdata.
5. Aristoteles( 384—322 BC)
Jika Plato merupakan murid populer Sokrates serta menunjang ide- ilham
Sokrates, makaAritoteles merupakan murid termasyhur Plato yang setelah itu
berbeda dengan gurunya serta membentuk teori sendiri.
Garis besar filsafat Aristoteles tentang bentuk merupakan kalau seluruh
kenyataan terdiri ataupun dibangun dari 4 faktor ialah; prinsip material( causa
materialis), prinsip resmi( causa formalis), prinsip efektif( causa efficiens),
prinsip final( causa final). Kalau seluruh kenyataan mempunyai faktor
hakikatnya serta tumbuh dengan lewat bermacam wujud mengarah sesuatu wujud yang
sempurna cocok dengan dimensi serta kandungan hakikatnya tiap- tiap. Prinsip
material sesuatu kenyataan bergerak serta tumbuh kemudian menjelma ke dalam
sesuatu wujud yang diucap prinsip resmi. Kemudian prinsip resmi ini jadi
prinsip material yang hendak bergerak serta menuntut direalisasikan kepada
wujud yang lain. Begitulah seterusnya hingga menggapai satu wujud kenyataan
maupun makhluk yang sempurna. Jadi prinsip material ataupun hakikat dari
sesuatu makhluk tidak terpisah serta terus turut hidup serta menyertai wujud
makhluk tersebut dalam bermacam fasenya. Pergantian dari hakikat ke wujud serta
dari wujud yang satu ke wujud selanjutnya digerakkan oleh sesuatu tujuan yang
diucap prinsip efektif ataupun tujuan efektif. Ada pula prinsip material yang
jadi hakikat dari seluruh wujud serta menyertai seluruh wujud tersebut
digerakkan serta mencuat oleh prinsip final.
Jika Plato menyangka alam ini tidak riil hingga Aristoteles memandangnya
riil sebab hakikat alam menyertai alam tersebut. Berikutnya Aristoteles
memandang alam ini bagaikan satu kesatuan ataupun keseluruhan yang terdiri dari
satu hakikat Dini yang tidak digerakkan serta jadi penggerak serta pengatur
Hakikat. Sama dengan hakikat yang senantiasa menyertai seluruh wujud serta
kenyataan hingga hukum merupakan hukum alam yang dimengerti bagaikan hukum yang
berlaku di mana- mana, tidak sempat berganti, tidak sempat sirna serta berlaku
dengan sendirinya. Hendak namun semacam pula hakikat ataupun prinsip material
yang bisa mengambil bermacam wujud cocok hakikat tiap- tiap mahkluk hingga
hukum pula apabila diterapkan pada dunia material bisa disesuaikan dengan
keadaan serta kondisi nyata.
Jadi, jika Plato memandang ilham ataupun eidos( hakikat) terpisah dari
fenomen( alam nyata) hingga Aristoteles menyimpulkannya menyatu. Untuk
Aritoteles hakikat serta wujud tidak terpisahkan meski bisa serta wajib
dibedakan. Jadi tiap kenyataan terdiri dari 2 sisi, sisi hakikat serta sisi
wujud. Pada manusia, kedua sisi ini dinamakan aspek jiwa serta aspek badan
manusia. Manusia di satu sisi, ialah sisi badannya, merupakan bagian dari alam
wujud( resmi) tetapi di sisi jiwa serta akalnya ia merupakan bagian dari alam
hakikat( material ataupun isi) yang jadi isi ataupun ruh serta lebih besar dari
alam wujud. Dengan demikian, hukum pula wajib dibedakan antara hukum alam yang
sempurna serta abadi dengan hukum positif yang senantiasa berganti serta
tergantung pada syarat manusia.
Berikutnya, Aristoteles menetapkan kalau pembuat hukum positif merupakan
negeri ialah penguasa negeri. Hukum positif ini wajib senantiasa ditaati
walaupun terdapat yang tidak adil. Kalau prinsip- prinsip keadilan bisa
mengoreksi hukum positif namun tidak bisa menafikan serta membatalkannya.
Jadi pada Aristoteles, berangkat dari teori faktor bentuk yang berbeda
kenyataan tetapi menyatu, dia membedakan antara hukum alam serta hukum positif.
Keduanya berbeda namun tidak silih menafikan sama dengan aspek jiwa serta badan
manusia yang berbeda senantiasa menyatu serta silih membangun. Hukum positif
bukan ialah hukum yang idiil tetapi tidak dapat diremehkan serta wajib
dipatuhi. Pembedaan ini merupakan salah satu sumbangan terbanyak Aristoteles
dalam bidang filsafat hukum. Tadinya masih dimengerti kalau hukum merupakan
hukum alam itu sendiri serta hukum alam merupakan hukum salah satunya yang
absah serta riil.
C. Hukum Romawi( Abad III SM—V M)
Filsafat yang sangat pengaruhi pemikiran orang Romawi yang berikutnya jadi
dasar dari pemikiran hukumnya merupakan aliran Stoa yang memperoleh dasarnya
dari pemikiran Plato tentang keberadaan Budi Ilahi( Nous) bagaikan pencipta
eidos- eidos( ide- ide). Tokoh- tokohnya merupakan SENECA( 65 saat sebelum
masehi) serta kaisar MARCUS AURELIUS( 121—180 saat sebelum masehi), dan CICERO(
106— 43 saat sebelum masehi) yang lebih pas ditatap bagaikan pemeluk ekletisme.
Ilham dasar Stoa merupakan kalau seluruh yang terdapat ialah satu kesatuan
yang tertib sebab terdapatnya sesuatu prinsip yang menjamin kesatuan itu ialah
jiwa dunia( Logos). Logos itu tidak lain merupakan Budi Ilahi dalam Plato.
Sebab manusia bagian dari kesatuan itu hingga dia mempunyai ketersambungan
dengan Logos pula. Hidup kemasyarakatan pula mempunyai ikatan dengan Logos
lewat hukum umum yang dijelmakan dalam ketentuan alam semesta. Hukum alam tidak
tergantung orang, senantiasa berlaku serta ialah dasar dari hukum positif.
Keutamaan manusia tidak terletak pada mematuhi hukum positif namun pada hukum
alam yang ialah statment kehendak Ilahi. Undang- undang negeri ditaati sejauh
cocok dengan hukum alam itu. Cita- cita manusia serta warga merupakan jadi manusia
yang adil serta merealisasikan hukum yang dicita- citakan, ialah hukum bagaikan
ius.
Manusia serta warga bisa bertahan serta tumbuh sebab ketaatan kepada hukum
alam tersebut. Ketentuan hukum terwujud dalam keluarga, negeri serta warga umat
manusia seluruhnya secara umum. Sebab ilham hukum umum ini hingga bangsa Romawi
menghasilkan ilham kosmopolis. Pembelahan hakiki antara bangsa dihilangkan.
Karena seluruh manusia mempunyai ikatan dengan jiwa dunia serta begitu pula
seluruh warga, hingga baik bangsa Yunani ataupun Romawi maupun bangsa barbar
seluruhnya merupakan bagian dari semesta alam yang terletak di dasar satu
hukum. Maksudnya seluruh bangsa sesungguhnya merupakan satu warga besar.
Hendak namun hukum alam yang satu itu setelah itu bisa jadi hukum positif
negeri. Hingga terciptalah satu hukum bangsa- bangsa. Jadi hukum bangsa- bangsa
merupakan hukum alam yang jadi hukum positif untuk seluruh bangsa. Hukum
bangsa- bangsa ini merupakan hukum privat yang bertabiat umum serta dijalankan
dan diakui oleh seluruh bangsa, bukan hukum antar bangsa yang timbul pada era
modern. Hukum bangsa- bangsa yang dibesarkan pada era Romawi ini setelah itu
dipelihara dalam kekaisaran Roma Timur ataupun kekaisaran Byzantium serta
diwariskan kepada generasi berikutnya dalam wujud undang- undang.
Pada tahun- tahun 528– 534 segala perundangan kekaisaran Romawi
dikodifikasi dalam satu Kodeks atas perintah Kaisar Yustinianus, yang dinamakan
Codex Iuris Romawi ataupun Codex Justinianus ataupun Corpus Iuris Civilis( C.
I. C maksudnya kumpulan hukum perdata Romawi).
Pada Abad Pertengahan hukum Romawi itu dipelajari kembali oleh para sarjana
universitas- universitas Barat serta dipraktikkan kembali oleh kaisar- kaisar
Jerman. Kesimpulannya, Hukum Romawi jadi bahan dasar dari hukum perdata modern
dalam‘ Code Civil’ yang disusun oleh para sarjana Kaisar Napoleon.
Kekaisaran Romawi berakhir tahun 476 Masehi. Tetapi kebudayaan Yunani-
Romawi tidak lenyap. Sepanjang abad- abad pertengahan kebudayaan itu
dilestarikan oleh bangsa- bangsa Eropa serta Arab. Bahasa serta sastra Latin
dilestarikan dalam gereja kristiani. Ada pula filsafat Yunani dibesarkan oleh
sarjana- sarjana Arab serta setelah itu diwariskan kepada bangsa- bangsa Eropa.
Sumber Bacaan
· DR. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, Pustaka Filsafat Penerbit Kanisius, 1982, hal. 18-34
· W. Friedmann, Legal Theory, Stevens & Sons
Limited, Edisi Kedua, 1949, hal. 18
· DR. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Pustaka
Filsafat Penerbit Kanisius, 1995, hal. 22-26
Posting Komentar untuk "FILSAFAT HUKUM PADA ERA YUNANI-ROMAWI"