Filsafat Hukum Pada Era Modern
A. Pendahuluan
Era modern berlangsung dalam 3 sesi; Awal, masa
Renaissance mulai abad XV hingga pertengahan abad 17( 1650). Kedua, era
Rasionalisme yang berlangsung dari 1650 hingga 1800. Terakhir era modern
merupakan masa abad XIX ialah abad setelah revolusi Perancis serta pasca
filsafat Kant( 1804). Sebagian sejarawan filsafat mencampurkan masa Renaissance
dengan Abad Pertengahan bukan dengan era modern dengan alibi kalau pada
era ini pengaruh filsafat Skolastik masih terasa kokoh sekali. Hendak namun
sesungguhnya dalam era ini sudah timbul atmosfer serta indikasi spiritualitas
yang baru serta pengaruh filsafat Nominalisme yang menentang Skolastik terus
menemukan banyak pengikut. Karenanya lebih pas jika masa ini dimasukkan ke
dalam Era modern meski bagaikan masa dini ataupun peralihan ke era modern.
Sebutan Renaissance yang maksudnya kebangkitan dipakai
karena pada masa ini kesenian serta sastra kebudayaan Yunani mencuat kembali
serta ditonjolkan bagaikan suatu yang sempurna. Tokoh- tokoh filsafat
Renaissance yang sangat menonjol ialah Leonardo Da Vinci( 1452—1519), Michel
Angelo( 1475—1564). Apresiasi terhadap kebudayaan klasik Yunani menciptakan
pemikiran penghargaan kepada kebebasan orang manusia yang sepanjang abad
pertengahan cenderung di dasar bayang- bayang doktrin pemimpin agama. Karenanya
masa ini diucap pula masa kemunculan Humanisme. Yang jadi pengusung ilham ini
merupakan Erasmus( 1469—1536) serta Thomas More( 1478—1535). Gagasan Humanisme
ini kemudian pengaruhi pengertian terhadap agama sampai melahirkan gerakan
keagamaan baru Kristen Protestan yang dirintis oleh Luther( 1483—1546) serta
Calvin( 1509—1564). Serta yang pula wajib digarisbawahi kalau alam benak era
ini diwarnai oleh pengaruh pencapaian ilmu- ilmu pengetahuan—yang tadinya
sangat kental nuansa agama Kepausan—yang dimulai dengan riset serta penemuan-
penemuan dari ilmuwan Copernicus( 1473—1543), Kepler( 1571—1630), Galilei(
1564—1642), serta lain- lain.
Dalam bidang politik, jika Abad Pertengahan Eropa
dipahami oleh 2 kekuasaan terpusat ialah urusan duniawi serta politik oleh
Kekaisaran Suci Romawi yang berpusat di Jerman serta kekuasaan rohani oleh
Kepausan yang berpusat di Roma. Sebab penghargaan yang besar terhadap bidang
rohani pada era pertengahan hingga kekuasaan rohani ditempatkan lebih besar dari
kekuasaan politik serta acapkali malah mengintervensi serta memegang kebijakan
politik pula.
Kala di abad- abad XIV serta XV satu demi satu
pangeran serta raja- raja di wilayah- wilayah kekaisaran membebaskan diri serta
jadi kerajaan- kerajaan nasional yang berdaulat hingga baik kaisar ataupun Paus
secara bertepatan kehabisan kewibawaannya.
Jadi perbandingan abad ini dengan abad tadinya
merupakan kalau kegiatan kehidupan tidak lagi di dasar kontrol pemikiran
keagamaan ataupun terpusat pada kekuasaan Allah. Titik tolak pemikiran seluruh
permasalahan serta poros kepentingan terpusat pada manusia serta ditunjukan
kepada manusia. Ini tidak berarti kalau orang tidak lagi mempunyai perilaku
religiositas namun orang memisahkan bidang relijius dengan kehidupan dunia.
Alam senantiasa diterima bagaikan sumber serta norma
hidup hendak namun alam tidak lagi berhubungan dengan Allah serta rencana-
rencana- Nya. Alam merupakan bidang kehidupan dunia di mana manusia leluasa
serta berkuasa menyelidiki maknanya serta memakainya.
Dalam bidang politik, kekuasaan paling tinggi
merupakan kekuasaan politik serta kekuasaan rohani tidak berhubungan terlebih
menghalangi kekuasaan politik.
B. Fase Era
Renaissance
Tokoh-
tokoh yang sudah menimbulkan pemikiran yang jadi pelopor dari era baru ini
ialah:
1. WILLIAM OCCAM( 1290—1350):
mengajukan filsafat Nominalis yang membantah klaim Skolastik kalau manusia bisa
dengan ide budinya menciptakan kebenaran sejati. Bagi Occam kebenaran sejati
tidak bisa ditentukan yang terdapat merupakan kebenaran dalam logika manusia.
Kebenaran berlaku sejauh itu mempunyai ikatan yang logis.
2. MARSILIUS PADOVA( 1270—1340):
mengajukan filsafat politik kalau negeri merupakan kekuasaan warga yang lengkap
serta berdaulat. Rakyat bisa mengendalikan kehidupan mereka seluruhnya serta
menunjuk wakil- wakil utuk kepentingan mereka tanpa campur tangan kekuasaan
agama.
3. DESIDERIUS ERASMUS( 1469—1536):
mengajukan filsafat Humanis yang mengkritik campur tangan Gereja dalam
kehidupan kemasyarakatan.
4. THOMAS MORE( 1478—1535): Seseorang
Humanis Inggris yang mengkritik kepemimpinan kerajaan pada zamannya( Raja Henry
VIII) serta menghasilkan pemikiran demokratis serta keadilan menyeluruh.
5. MARTIN LUTHER( 1483—1546):
Seseorang protestan sistem keagamaan Roma serta mempelopori pembelahan diri
dari kekuasaan Paus di Roma sembari menjajaki suara hati sendiri.
6. CALVIN( 1509—1564): Protestan
sistem Kepausan di Roma. Menolak kalau keadilan didetetapkan hukum alam abadi
ataupun rencana abadi Allah serta meyakini kalau rasa serta pengetahuan
keadilan telah ditanamkan dalam jiwa manusia. Suara jiwa manusia merupakan
sumber dari hukum positif yang adil. Menolak absolutisme negeri serta kalau
individu mempunyai hak- hak individu tertentu.
7. MACHIAVELLI( 1469—1527): Humanis
serta pemikir politik Italia yang populer dengan teorinya tentang kekuatan
negeri serta absolutisme negeri. Baginya target paling tinggi politik negeri
merupakan mempertahankan kekuasaan negeri buat kepentingan universal(
Staatsrason). Buat menggapai tujuan- tujuannya itu negeri tidak butuh
memikirkan moral serta persetujuan rakyat serta penguasa bisa memakai seluruh
metode apalagi kekerasan.
8. JEAN BODIN( 1530—1596):
Melontarkan pemikiran politik tentang kedaulatan penguasa ataupun raja, jadi
bukan cuma negeri bagaikan tubuh. Dia mau mengajukan kekuasaan tidak terbatas
seseorang raja ataupun pemegang kekuasaan. Raja serta penguasa negeri mempunyai
kekuasaan absolut, tidak dibatasi oleh kekuasaan lain serta tidak terikat oleh
undang- undang. Si penguasa tidak tunduk pada undang- undang sebab ia merupakan
pembuat undang- undang. Pemikiran- pemikiran hukum yang mewakili era ini lebih
dalam lagi mengalami pada tokoh- tokoh:
a. HUGO GROTIUS( 1583—1645)
Grotius berikan atensi spesial mangulas permasalahan hukum. Ia ditatap berjasa
atas sumbangan pemikirannya dalam bidang hukum internasional. Hukum bangsa-
bangsa yang dibahas Grotius, meski memakai sebutan yang sama ialah ius gentium,
berbeda maksudnya dengan hukum bangsa- bangsa yang dibahas pada era klasik.
Pada masa itu hukum bangsa- bangsa merupakan
hukum alam yang secara alami berlaku serta dipraktekkan oleh manusia- manusia
dari bermacam bangsa. Pada Grotius hukum bangsa- bangsa merupakan hukum yang
didetetapkan secara kerelaan oleh seluruh ataupun mayoritas negeri, jadi ialah
hukum yang berlaku antar bangsa lewat kehendak negeri, yang diwakili pemimpin-
pemimpinnya. Bagi Grotius negeri bukan tercipta secara alamiah namun ialah
hasil kehendak individu- individu buat hidup bersama.
Jika era klasik hukum alam merupakan pencerminan dari
hukum abadi Allah yang terlihat dalam ketentuan alam hingga bagi penganut-
pemeluk humanisme tercantum Grotius hukum alam terdapat dalam manusia sendiri
yang mereka peroleh lewat penafsiran ide rasional manusia bukan oleh uraian
yang diperoleh jiwa sucinya, yang dikira tersambung kepada Budi Ilahi dalam
diri Allah. Manusia bisa paham segala- galanya lewat ide rasionalnya.
Demikian pula dalam bidang hukum, manusia bisa
menyusun sesuatu catatan hukum alam dengan merumuskan prinsip- prinsip a
priori( dini) yang bisa diterima secara universal.
Prinsip rasional awal tentang hukum bagi Grotius
merupakan kalau‘ Tiap orang memiliki kecenderungan buat hidup bersama orang
lain secara damai’. Kecenderungan ini terdapat pada manusia lepas dari
keinginan mereka. Kecenderungan ini jadi dasar objektif dari segala hukum. Dari
prinsip dasar ini secara deduktif disimpulkan 4 prinsip dasar, yang butuh
ditaati biar hidup bersama dalam damai bisa berjalan. Keempat prinsip dasar
tersebut ialah:
Barangmu Barangku. Tiap orang wajib menghargai harta
kepunyaan orang.
1) Kesetiaan pada janji
2) Prinsip ubah rugi
3) Keharusan hukuman untuk yang melanggar
aturan
Hukum
alam dalam hak- hak subjektif manusia ialah:
a) Hak buat berkuasa atas diri
sendiri, ialah hak atas kebebasan
b) Hak buat berkuasa atas orang lain,
semacam kewibawaan orang tua atas anaknya
c) Hak buat berkuasa bagaikan majikan
serta tuan
d) Hak buat berkuasa atas kepunyaan
serta beberapa barang sendiri
Hukum positif merupakan hukum yang berlaku dalam
negeri. Hukum ini tidak boleh melawan hukum alam ialah tidak boleh menyuruh
suatu yang terlarang oleh hukum alam. Namun hukum alam boleh dilewati bila
dituntut kepentingan universal negeri. Grotius berpandangan kalau‘ kepentingan
negeri’ bisa menuntut buat melanggar aturan- ketentuan alam. Yang memastikan
kepentingan negeri itu merupakan raja. Raja tidak bisa dikenakan sanksi atas pelanggaran
hukum yang dikerjakannya buat kepentingan universal. Raja leluasa pula buat
mencabut hak- hak individu orang asal ada sesuatu alibi buat kepentingan
universal. Apalagi hak buat memerintah bisa jadi hak individu dari raja sendiri
sedemikian rupa sehingga warga- warga negeri tidak mempunyai hak sama sekali.
Bisa dikatakan kalau hukum alam bagi Grotius pula
bersangkutan dengan hak- hak, kewajiban serta ikatan antara individu manusia
serta bukan hukum tentang ikatan kemasyarakatan serta kehidupan negeri. Hukum
dalam bidang kemasyarakatan serta kepentingan universal dinamakan ataupun
tercantum dalam lingkup hukum positif yang jadi wewenang yang berkuasa.
b. TH OMAS HOBBES( 1588—1679)
Filsafat Hobbes: Keadaan kehidupan Hobbes yang
bertahun- tahun dalam pembuangan mewarnani pemikiran filsafat Hobbes yang
pessimistis. Pada kesimpulannya pemikiran Hobbes tentang negeri menyetujui
teori absolutisme negeri yang dikemukakan Machiavelli, meski dengan bangunan
anggapan serta titik tolak yang berbeda.
Bagi Hobbes tata cara yang pas buat memperoleh
kebenaran merupakan tata cara yang digunakan dalam ilmu- ilmu pengetahuan
positif ialah dalam ilmu- ilmu pengetahuan fisika danmatematika.
Hobbes mendekati semesta alam seakan- akan alam itu
cuma terdiri atas benda- benda raga yang bertabiat objektif serta material.
Akibat pendekatan ini yakni kalau Hobbes tidak membuat pembedaan antara barang
serta benak. Benak pula ditanggapinya bagaikan barang yang bekerja dengan
prinsip yang berlaku pada barang ialah ikatan karena akibat.
Hobbes menerangkan kalau penafsiran diawali dengan
pengamatan sesuatu perihal. Akibat pengamatan tersebut terjadilah sesuatu
pergantian dalam bagian- bagian tubuh tertentu semacam mata, kuping, serta
sebagainya. Pergantian itu memunculkan bayangan. Bayangan itu diberikan nama.
Serta nama seperti itu yang jadi penafsiran. Dari proses penafsiran ini
jelaslah kalau penafsiran tidak mencerminkan kenyataan. Pengertian- pengertian
ialah nama- nama serta nama- nama itu bergantung dari opsi manusia. Oleh sebab
penafsiran bukan statment kenyataan namun cuma nama ataupun istilah untuk
bayangan hingga tidak bisa dikatakan penafsiran itu benar. Demikian juga,
penafsiran bisa dikatakan benar apabila memiliki ikatan yang pas dengan
pengertian- pengertian lain. Hingga kebenaran didetetapkan oleh terbentuknya
hubungan- hubungan logis antara pengertian- pengertian.
Penafsiran didapat dari pengalaman. Tanpa pengalaman
tidak terdapat penafsiran. Sebaliknya pengalaman merupakan hasil bayangan kita
terhadap kenyataan. Ada pula negeri serta hukum bagi Hobbes tidaklah kenyataan
melainkan perwujudan kehendak manusia. Jadi jika penafsiran kita terhadap
kenyataan alam saja tidak bisa ditatap bagaikan pencerminan dari kenyataan itu
sendiri, dengan kata lain tidak bisa dikatakan kebenaran, terlebih terhadap
yang bukan kenyataan. Hingga kebenaran penafsiran kita tentang negeri serta
hukum lebih jauh serta lebih tidak tentu. Oleh sebab itu, buat negeri serta
hukum dimensi kebenarannya bukan penafsiran dari pengalaman( a posteriori)
melainkan bergantung kehendak manusia. Apa yang dikehendaki manusia seperti itu
yang diucap benar. Tidak terdapat norma kebenaran tidak hanya manusia sendiri.
Kebenaran ini bisa dikatakan kebenaran dengan jalur deduksi( a priori).
Berkenaan dengan permasalahan negeri serta hukum,
bertentangan dengan Grotius, Hobbes tidak menerima terdapatnya kecenderungan
hidup bersama pada diri manusia. Kebalikannya bagi Hobbes, manusia semenjak era
purbakal seluruhnya dipahami oleh nafsu- nafsu alamiah buat memperjuangkan
kepentingannya sendiri. Manusia merupakan serigala untuk manusia( Homo Homini
Lupus). Dalam suasana yang tegang itu lama kelamaan manusia merumuskan kalau
kepentingan serta keamanan dirinya bisa dicapai lewat ketentuan hidup bersama.
Maksudnya hidup bersama itu bukan kecenderungan manusiawi ataupun kodrat kalau
manusia merupakan makhluk sosial melainkan hasil sesuatu kontrak orang- orang
buat tujuan mengamankan hidupnya. Orang- orang membentuk negeri karena mereka
khawatir satu sama lain. Dari tesis ini hingga beberapa prinsip timbul:
Hukum alam yang dimaksud bagaikan kecenderungan-
kecenderungan kebaikan dalam diri manusia untuk Hobbes bukan ialah hukum dalam
makna sebetulnya namun cuma bagaikan petunjuk buat menggapai tujuan.
Kalau cuma kontrak yang didasarkan pada tuntutan
menggapai tujuan yang memunculkan hak. Sepanjang kontrak tidak terbuat serta
dinyatakan hingga tidak ada hak, serta konsekwensinya kewajiban, pada manusia.
Kalau tugas negeri merupakan menjamin keamanan. Buat
tujuan ini hingga orang- orang wajib setuju lewat persetujuan ataupun kontrak
mereka buat menyerahkan hak- hak pribadinya seluruhnya kepada negeri. Itu
berarti kalau kepala negeri mempunyai kedaulatan penuh terhadap seluruh
masyarakat negeri.
Kedaulatan kepala negeri ini maksudnya dia ialah
sumber seluruh hukum. Sumber dari undang- undang negeri ataupun hukum adat
istiadat. Pula sumber hukum untuk hukum perdata. Tidak terdapat ketentuan
ataupun hukum yang di atas serta mengendalikan kepada negeri. Kepala negeri
tidak tunduk kepada legitimasi ataupun sanksi apapun baik dari Tuhan maupun
moral. Dengan kontrak dia sudah memegang hak seluruhnya buat mengendalikan
hidup orang- orang serta menjamin keamanan mereka dengan seluruh triknya.
Jadi dalam sistem empirisisme Hobbes, tidak terdapat
tempat untuk hak- hak individu. Hukum merupakan hukum kemasyarakatan yang
diperintahkan serta dijalankan penguasa. Dengan pemikirannya ini, Hobbes
menghancurkan habis konsepsi otoritas, legitimasi serta hukum Abad Pertengahan.
Otonomi Gereja sama sekali tidak terdapat; Hukum abadi Allah tidak diakuinya;
hukum alam yang jadi ketentuan umum alam tidak memegang peranan berarti;
Kerjasama serta kepentingan universal cuma bagaikan fasilitas. Yang tinggal
cuma orang manusia yang mencari keamanan serta penuhi kepentingan dirinya. Atas
dasar keamanan serta kepentingan masing- masing hingga otoritas serta hukum
dapat diakui. Hobbes merupakan individualis, utilitarian, serta absolutis serta
naturalis. Dia jadi ikon sempurna dari era Renaissance. Filsafat Naturalisme
ini nantinya bersinambung serta timbul dalam pemikiran empirisisme Inggris.
Serta setelah itu menjelma jadi sistem positivisme pada abad XIX serta XX.
Dengan kata lain pemikiran politik serta hukum Hobbes ialah bibit terjadinya
pola manusia era modern yang egois, individualis, materialistis, tidak relijius
serta mengakumulasi kekuatan. Bibit individualis Hobbes dikemas lagi dalam
teori John Lock; Utilitarianisme nya mengkristal dalam teori- teori Bentham
serta Stuart Mill; sebaliknya absolutismenya menyerap dalam pemikiran serta
upaya- upaya penguatan serta sentralisasi kekuasaan negeri.
Sumber Bacaan
·
DR. Theo Huijbers,
Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Pustaka Filsafat
Penerbit
Kanisius, 1982, hal. 51-67
·
W. Friedmann, Legal
Theory, Stevens & Sons Limited, Edisi Kedua, 1949, hal. 35-43, 203-216.
Posting Komentar untuk "FILSAFAT HUKUM BARAT DI ERA MODEREN"