AKAD MUSYAROKAH DALAM EKONOMI ISLAM



A.      Pengertian Akad Musyarakah dalam Penyaluran Dana  
Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata syarakayang bermakna bersekutu, meyetujui. Sedangkan menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Lewis dan Algaoud juga memberikan definisi musyarakah sebagai sebuah bentuk kemitraan dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka untuk merbagi keuntungan, menikmatai hak-hak dan tanggung jawab yang sama
B.       Landasan Hukum Syariah akad Musyarakah
 1. Al-Quran
“… maka mereka berserikat pada sepertiga….”(Q.S. An-Nisa:12)
“Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Q.S. Sad: 24).
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang- orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat dzalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan amat sedikitlah mereka ini’’(QS. Shaad (38):24).
2. Al-Hadist
عن ابي هريرة رفعه قل ان الله يقول انا ثا لث الشريكين ما لم يخنن احد هما صا حبه فاذا خانه خرجت من بينهما. ( رواهه ابو داود والحا كم عن ابي هريرة )
Dari abu hurairah Rasulullah saw bersabda, sesungguhnya Allah azza wa jallah berfirman “aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satu tidak ada yang menghianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka” (HR Abu Daud).Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah merupakan dalil lain diperbolehkan nya praktik musyarakah. Hadis ini merupakan hadist Qudsi, dan kedudukannya sahih menurut Hakim.
Di Hadis ini menjelaskan bahwa Allah memberikan pernyataan bahwa mereka yang bersekutu dalam sebuah usaha akan mendapat perniagaan dalam arti Allah akan menjaganya selain itu Allah akan memberikan pertolongan namun Allah juga akan melaknat mereka yang mengkhianati perjanjian dan usahanya. Hal ini lantas memperjelas meskipun memiliki ikatan yang bebas namun kita tidak bisa membatalkan sembarangan apa yang sudah menjadi kerjasamanya.
3. Ijma
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al Mughni mengatakan bahwa “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dari beberapa elemennya”.
C.      Rukun,  Syarat dan ketentuan dalam Pembiayaan Musyarakah
Adapun rukun dari akad musyarakah itu sendiri ada 4, yaitu:
1.         Pelaku terdiri dari para mitra
2.         Objek musyarakah berupa modal dan kerja
3.          Ijab qabul
4.          Nisbah keuntungan (bagi hasil)
Sedangkan syarat dan ketentuan dalam pembiayaan musyarakah yang dimuat dalam fatwa DSN no. 8 tentang musyarakah adalah sebagai berikut:
1)        Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1)        Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
2)        Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
3)        Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2)        Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
1)   Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
2)   Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
3)   Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
4)   Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
5)   Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3)        Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
1)        Modal
Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya.Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan.
2)   Kerja
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
3)   Keuntungan
Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad
4)      Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
5)      Biaya Operasional dan Persengketaan
a)   Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b)   Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
D.      Jenis Jenis  Akad  Musyarakah
Secara garis besar syirkah ada dua macam,  yakni:
1.    Syirkah Amlak,  yaitu bentuk perserikatan antara dua orang atau lebih  dalam memiliki harta bersama-sama tanpa melalui atau didahului akad syirkah. Syirkah bentuk ini juga ada dua bentuk,  yaitu:
a.    Syikah Ikhtiyariah, yaitu perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat. Misalnya dua orang diberi harta wasiat dari seseorang, dia bisa menolak atau menerima harta itu.
b.   Syirkah Jabariyah, yaitu perserikatan yang muncul secara paksa, bukan karena kehendak orang yang berserikat. Misalnya dua orang atau lebih yang terpaksa menerima harta waris sebagi milik bersama.
2.    Syirkah ‘Uqud, yaitu akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Syikah ‘uqud juga ada beberapa macam yaitu:
a.    Syirkah ‘inan/syirkah amwal. Para fuqaha’ sepakat bahwa syirkah ini diperbolehkan syari’ah.
Contoh bagi syirkah inan: Ibrahim dan Omar bekerjasama menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan masing-masing mengeluarkan modal 1 juta rupiah. Kerja sama ini diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma’ sahabat.Disyaratkan bahwa modal yang dikongsi adalah berupa uang.Modal dalam bentuk harta benda separti kereta/gerobak harus diakadkan pada awal transaksi. Kerja sama ini dibangunkan oleh konsep perwakilan(wakalah) dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing pihak memberi/berkongsi modal kepada rekan kerjanya berarti telah memberikan kepercayaan dan mewakilkan usaha atau bisnisnya untuk dikelola
Keuntungan usaha berdasarkan kesepakatan semua pihak yang bekerjasama, manakala kerugian berdasarkan peratusan modal yang dikeluarkan.Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami’ meriwayatkan dari Ali ra.yang mengatakan: “Kerugian bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati”
b.   Syirkah mufawadhah.
Syirkah Mufawadhah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah yang ada (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah dan wujuh).
Menurut ulama’ Hanafiyah dan Zaidiyah, syirkah bentuk ini boleh karena syirkah seperti ini telah umum di masyarakat dan tidak ada ulama’ yang mengingkarinya.Sedangkan ulama’ Malikiyah tidak membolehkan syirkah mufawadhah seperti yang dipahami ulama’ Hanafiyah, namun apabila masing-masing pihak dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja tanpa harus minta izin kepada anggota yang lain, maka boleh.Demikian juga dengan ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah tidak membolehkan syirkah yang dipahami ulama’ Hanafiyah, karena ketentuan tersebut sulit diwujudkan, dan keduanya membolehkan syirkah seperti yang dipahami ulama’ Malikiyah.
Contoh: A adalah pemodal, menyumbang modal kepada B dan C, dua jurutera awam yang sebelumnya sepakat bahwa masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk menyumbang modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan yaitu B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan konstribusi kerja sahaja.
Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga wujud syirkah mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan suntikan modal di samping melakukan kerja, berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya berarti terwujud syirkah wujuh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada yang disebut syirkah mufawadhah.
c. Syirkah wujuh. Ulama’ Hanafiyah, Hanabilah  dan Zaidiyah berpendapat boleh. Namun ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, Dhahiriyah dan Syiah Imamiyah menyatakan tidak sah dan tidak boleh.Alasan mereka bahwa obyek syirkah adalah modal dan kerja, sedangkan dalam syirkah wujuh obyek syirkahnya tidak jelas.
Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya. (An-Nabhani, 1990:154) Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak.Misalnya A dan B tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli.Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang dimiliki.Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh usaha berdasarkan kesepakatan.Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan di masyarakat.Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau suka memungkiri janji dalam urusan keuangan.Sebaliknya sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
d. Syirkah abdan/syirkah a’mal. Ulama’ Malikiyah,  Hanafiyah,
Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena tujuan utama kerjasama ini adalah mencari keuntungan dengan modal kerja bersama. Dan menurut ulama’ Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah dan Zufar bin Huzail (pakar fiqh Hanafi) berpendapat hukumnya tidak sah, karena obyek syirkah adalah harta/modal bukan kerja.
Contoh:  Jalal adalah Ahli bangunan rumah dan Rafi adalah Ahli elektrik yang berkerjasama menyiapkan projek mebangun sebuah rumah. Kerjasama ini tidak harus mengeluarkan uang atau biaya.Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka.
Syirkah abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil As-sunnah.Ibnu mas’ud pernah berkata “Aku berkerjasama dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta rampasan perang badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun” (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadist ini diketahui Rasulullah saw dan membenarkannya.
e. Syirkah mudharabah. Jumhur ulama’ menyatakan   bahwa
mudharabah tidak termasuk akad syirkah.Hanya ulama’ Hanabilah yang menganggapnya sebagai syirkah.
Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak atau lebih dengan ketentuan.satu pihak menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak lain mengeluarkan modal (mal). (An-Nabhani, 1990: 152).
Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh.(Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Sebagai contoh: Khairi sebagai pemodal memberikan modalnya sebanyak 500 ribu kepada Abu Abas yang bertindak sebagai pengelola modal dalam pasaraya ikan.
Ada 2 bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah.
Pertama,
2 pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan mengeluarkan modal sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan menjalankan kerja sahaja.
Kedua,
pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal tanpa konstribusi kerja
Kedua-dua bentuk syirkah ini masih tergolong dalam syirkah mudharabah (An-Nabhani, 1990:152).Dalam syirkah mudharabah, hak melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola.Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian jika kerugian itu terjadi kerana melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal
E.  Proses Penyaluran Dana dengan akad Musyarakah
Pembiayaan musyarakah dengan revenue sharing dilakukan dengan cara menggabungkan dua modal baik dari pihak nasabah dan pihak bank syariah untukmelakukan suatu usaha/proyek, pendapatan dan kerugian dari hasil usaha atau proyek tersebut kemudian dibagi sesuai dengan porsi dalam nisbah yang telah disepakti bersama.
Pembiayaan musyarakah dengan profit sharing dilakukan dengan cara menggabungkan dua modal baik dari pihak nasabah dan pihak bank syariah untuk melakukan suatu usaha/proyek, keuntungan (pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya) dan kerugian dari hasil usaha atau proyek tersebut kemudian dibagi sesuai dengan porsi dalam nisbah yang telah disepakti bersama. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan penyertaan modal masing-masing pihak.






Posting Komentar untuk "AKAD MUSYAROKAH DALAM EKONOMI ISLAM"