RIBA
DEFINISI RIBA
a. Ensiklopedi Islam Indonesia, Tim Penulis IAN SYARIF
HIDAYATULLAH:Al Riba makna asalnya
ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba
ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan
syara’.
Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan denganprinsip muamalah dalam Islam. Mengenai hal ini Allah SWT
mengingatkan dalam firmannya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang bathil ….” ( QS. An Nisaa’ : 29 )
Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat
tersebut, Ibnu al Arabi al Maliki dalam kitabnya, ahkam al Qur’an menjelaskan
sebagai berikut :
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang
dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa
adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
syari’ah”.
Yang dimaksud dengan ternsaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut
secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang
sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Diantaranya sebagai berikut :
1. Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari
Syarah Shahih al Bukhari, “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut
syari’ah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi
bisnis riil.
2. Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi, “Riba adalah
tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan )
yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut”
3. Raghib al-Asfahani, “ Riba adalah penambahan
atas harta pokok”
4. Imam Nawawi dari Mazhab Syafi’i,
menjelaskan salah satu bentuk riba yang dilarang al Qur’an dan As sunnah adalah
penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal
tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah, “ Riba jahiliyyah adalah seseorang
yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah dating
saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan tambahan
atas penangguhan.”
6. Zaid bin Aslam, “Yang dimaksud denganriba
jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah
seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia
berkata, “ Bayar sekarang atau tambah “
7. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali,
Ketika Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang riba, ia menjawab “Sesungguhnya
riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan
melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah
dana ( dalam bentuk bunga pinjam )atas penambahan waktu yang diberikan.”
JENIS-JENIS RIBA
1. RIBA QARDH, suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. RIBA JAHILIYYAH, utang dibayar lebih dari pokoknya karena
si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. RIBA FADHL, pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang
ribawi.
4. RIBA NASI’AH, penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan, dengan jenis barang ribawi lainnya, Riba dalam nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dan yang diserahkan kemudian.
JENIS BARANG RIBAWI :
Kesimpulan secara umum dari pendapat para ulama’ berkaitan
dengan barang ribawi adalah :
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang
maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum,
dan jagung, serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
c. Sebab diharamkannya Riba
Sebab diharamkannya
riba adalah karena adanya larangan Allah SWT kepada umat Islam untuk tidak
mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan
diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur’an dan hadits.
Larangan Riba Dalam AL – Qur’an
Larangan riba dalam Al Qur’an tidak diturunkan
sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai perbuatan
mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. “Dan, sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu menambah pada
sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridha’an allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya)”( ar Ruum : 39 )
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang
buruk. Allah mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba.
“Maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan
atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.” ( an Nisaa’ : 160-161 )
Tahap
ketiga, riba diharamkan
dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak diparktikkan pada masa itu, Allah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali
Imran : 130 )
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriyah. Secara umum, ayat ini
harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah syarat dari terjadinya
riba ( jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba
), tetapi ini merupakn sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.
Tahap
terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman.Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan
menyangkut riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) mka ketahuilah bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya.”( al Baqarah :
278-279)
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jika
kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
ath-Thabari meriwayatkan, “Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat
suatu kesepakatan dengan Rasulullah saw. Bahwa semua utang merek, demikian juga
piutang mereka yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya
pokoknya saja. Setelah fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid
sebagai Gubernur Mekkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah
administrasinya. Bani Amr bin Umair bin Auf adalah orang yang senantiasa
meminjamkan uang secara riba kepada bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyyah
bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah
kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak.
Karenanya, datanglah Bani Amr untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari
Bani Mughirah – seperti sedia kala – tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam
menolak memberikan tambahan (riba) tersebut. Dilaporkanlah masalah
tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menganggapi masalah ini, Gubernur Itab
langsung menulis surat kepada Rasululah dan turunlah ayat di atas. Rasulullah
lansung menulis surat balasan kepada gubernur Itab, “Jika mereka ridlo atas
ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka
kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.”
d. Dampak Negatif Riba
a. Dampak Ekonomi
· Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak
inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya utang. Hal tersebut
disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga.
Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan
pada suatu barang.
· Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan
rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan
menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila
bunga atas utang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah utang
Negara-negara berkembang kepada Negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman
lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya Negara-negara pengutang
harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah
utang yang terus menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan
structural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.
· Secara psikologis, praktik pembungaan uang
dapat menjadikan seseorang malas untuk menginvestasikan uangnya dalam sector
usaha. Hal ini terbukti pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia kemarin,
orang-orang yang punya dana lebih, lebih baik tidur di rumah dari pada bekerja
sambil menunggu kucuran bunga pada akhir bulan, karena menurutnya, sekalipun
dia tidur, uangnya bekerja dengan kecepatan 60 % hingga 70 % per tahun.
· Sebagian besar kaum dhu’afa mengmbil pinjaman
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian pendapatan mereka pun diambil
alih oleh para pemilik modal dalam bentuk bunga.
Jutaan manusia di
Negara-negara berkembang menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar utang yang
diwariskan kepada mereka. Upah dan gaji mereka umumnya sangat rendah.
Pemotongan untuk membayar bunga membuat upah mereka yang tersisa menjadi sangat
sedikit dan memaksa mereka untuk hidup di bawah standar normal.
Hal tersebut di atas
berimplikasi rendahnya pendidikan anak-anak mereka, sehingga lambat laun akan
menyebabkan kemerosotan pembangunan pada Negara-negara berkembang tersebut
dikarenakan sebagian besar warganya berpendidikan rendah.
· Pembayaran bunga juga menurunkan daya beli di
kalangan masyarakat. Akibatnya, industry yang memenuhi produk untuk golongan
miskin dan menengah akan mengalami penurunan permintaan. Bila keadaan tersebut
terus berlanjut, secara berangsur-angsur tapi pasti, sector industry pun akan
merosot.
· Monopoli Sumber Dana
Pinjaman modal kerja
biasanya diajukn oleh para pedagang, pengrajin dan para petani untuk
tujuan-tujuan yang produktif, namun upaya mereka untuk dapat lebih produkstif
tersebut sering terhambat atau malah hancur karena penguasaan modal oleh para
kapitalis, seperti :
a. Sudah menjadi rasia umum bahwa para pengusaha
besar dan konglomerat yang dekat dengan sumber kekuasaan memiliki akses yang
kuat terhadap sumber dana.Manuver-manuver pengusaha besar ini seringkali
mengorbankan kepentingan pengusaha kecil, tidak jarang pengusaha kecil mendapat
tingkat suku bunga yang besar. Para konglomerat juga sering mengambil
jatah dan alokasi kredit si kecil.
b. Modal tidak diinvestasikan pada berbagai usaha
yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat, melainkan lebih banyak digunakan
untuk usaha-usaha spekulatif yang sering kali membuat keguncangan pasar modal
dan ekonomi.
c. Kehancuran sector swasta di Indonesia dalam
krisis ekonomi pada akhir tahun 1990-an antara lain disebabkan oleh melonjaknya
beban bunga tersebut. Struktur bunga tetap untuk jangka panjang pun dapat
menghancurkan perusahaan yang tengah berkembang bila
keuntungan yang diperolehnya tak cukup untuk menutupi beban bunga tersebut.
· Pinjaman Pemerintah
Pinjaman pemerintah
dikategorikan dalam dua bentuk. Pertama, pinjaman dari dalam negeri, kedua,
pinjaman yang diperoleh dari kalangan asing atau luar negeri.
Pinjaman dalam negeri
banyak digunakan untuk hal yang mendesak dan konsumtif, diantaranya adalah
untuk mengatasi kelaparan dan bencana alam. Pinjaman demikian mempunyai
kedudukan yang kurang lebih samadengan pinjaman perorangan untuk memenuhi
kebutuhan pribadi. Meminjamkan uang untuk kepentingan demikian dengan memungut
bunga, lebih tidak bermoral ketimbang member pinjaman pada perorangan.
Dengan memberikan
pinjaman ini berarti pemilik modal memungut bunga kepada pemerintah, padahal
pemerintah yang disokong masyarakat luas itu telah member perlindungan dan
banyak kesempatan kepadanya untuk menikmati kedudukannya.
Lebih idak dapat diterima
lagi bila pinjaman tersebut diperlukan bagi Negara untuk menghadapi ancaman
perang. Pada situasi demikian, seluruh kehidupan bangsa dan hak milik yang ada
di Negara tersebut tengah terancam. Ketika seluruh masyarakat mengorbankan
harta hidupnya untuk mempertahankan keberadaan bangsa, kalangan kapitalis malah
mencari untung dari situasi tersebut dengan memungut uang berupa bunga dari
pinjaman biaya perang.
b. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba
menggunakan uangnya untuk memerintah orang lain agar berusaha dan
mengembalikannya. Riba dalam bunga menumbuhkan sikap egois, bakhil, berwawasan
sempit serta berhati batu. Orang yang membungakan uangnya cenderung bersikap
tidak mengenal belas kasihan. Hal ini terbukti bila si peminjam kesulitan dalam
melunasi hutangnya, maka dia harus melunasi dengan cara apapun, termasuk
perampasan harta benda milik peminjam.
Secara social, institusi bunga merusak semangat berkhidmat kepada masyarakat.
Orang enggan berbuat apa pun kecuali yang memberi keuntungan bagi dirinya
sendiri.
Posting Komentar untuk "Riba Dalam Hukum Islam"