Bab I
Pendahuluan
Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di
Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk
berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya,
produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut
bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar
bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk
memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagI hasil. Pegadaian syariah atau
dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee
Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil).
Karena nasabah dalam
mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk
konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode
Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan
metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan
mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang
disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai
syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai
menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi
pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara
penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan
penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Salah satu inovasi produk yang diluncurkan oleh pagadaian adalah
Program Kredit Tunda Jual Komoditas Pertanian yang saat ini lebih dikenal
dengan sebutan Gadai Gabah. Program ini diluncurkan atas landasan pemikiran
bahwa dalam rangka mengurangi kerugian petani akibat perbedaan harga jual gabah
pada saat panen raya. Sasaran utama program ini adalah membantu petani agar
bisa menjual gabah yang dimilikinya sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan
oleh pemerintah. Pengalaman selama ini ketika terjadi panen raya, petani selalu
menjadi pihak yang dirugikan. Untuk mencegah kerugian yang diderita oleh petani
pada saat musim panen akibat anjloknya harga gabah, Perum Pegadaian meluncurkan
gadai gabah. Dengan sistem ini, petani menggadaikan gabahnya pada musim panen,
untuk ditebus dan dijual ketika harga gabah kembali normal. Dengan adanya gadai
gabah, petani bisa tidak menjual semua gabahnya pada saat musim panen (harga
murah) melainkan menyimpannya dulu di gudang milik agen yang menjadi mitra
pegadaian. Petani menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen pada Perum
Pegadaian dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah kembali
normal, petani dapat menebusnya dengan harga yang sarna ketika menggadaikan
gabahnya ditambah dengan sewa modal sebesar 3,5 persen per bulan. Jika selama
batas waktu empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak dapat
menebusnya, gabah akan dilelang oleh Perum Pegadaian. Kelebihan harga gabah
akan diberikan kepada petani. Gabah yang diterima sebagai barang jaminan adalah
Gabah Kering Giling (GKG). Bila gabah petani bukan gabah kering giling maka
petani akan dikenakan proses penanganan (handling) sebesar Rp 10 per kg.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya
Pegadaian Syariah
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi
tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10
menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba,
misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai
landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak
berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember
2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun
harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan
itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya
disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai
langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem
administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang
diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri
dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai
Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain
Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural
terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah
pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (
ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian
pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di
tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor
Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.
B. Operasionalisasi Pegadaian Syariah
B. Operasionalisasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan
Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian
Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur
untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya
menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang
pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15
menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan
menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang
juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari
aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah
memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian
konvensional. Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan
dalam uraian berikut.
C. Landasan Konsep
C. Landasan Konsep
Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka
landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang
bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai
adalah :
Al-Quran Surat Al Baqarah : 283
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Hadist
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : ”Rasulullah membeli
makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi”. (HR
Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : ”Tidak
terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia
memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”. (HR
Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah )
Nabi Bersabda : “Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan
boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan
dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan
kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”.
(HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai )
Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : “Apabila ada
ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai),
karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu
digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima
gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang
naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya”. (HR
Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari)
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn (
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181)
Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Ketentuan Umum :
1.
Murtahin (penerima
barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin
(yang menyerahkan barang) dilunasi.
2.
Marhun dan manfaatnya
tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh
murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan
pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3.
Pemeliharaan dan
penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan
juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban rahin.
4.
Besar biaya
administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.
Penjualan marhun
1.
Apabila jatuh tempo,
murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
2.
Apabila rahin tetap
tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
3.
Hasil Penjualan Marhun
digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum
dibayar serta biaya penjualan.
4.
Kelebihan hasil
penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
b. Ketentuan
Penutup
1.
Jika salah satu pihak
tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara
kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase
Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.
Fatwa ini berlaku
sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat
kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.
D.
Teknik Transaksi
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian
Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu :
1.
Akad
Rahn. Rahn yang
dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang
bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
1.
Akad
Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna
atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan
bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik
nasabah yang telah melakukan akad.
Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad :
1) Yang berhutang (rahin) dan
2) Yang berpiutang (murtahin).
b. Sighat (ijab qabul)
c. Harta yang dirahnkan (marhun)
d. Pinjaman (marhun bih)
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional
Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn,
nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan
merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul
dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai
investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses
kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa
kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa
tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang
diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses
pinjam meminjam uang hanya sebagai “lipstick” yang akan menarik minat
konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut
meliputi :
1.
Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin
mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2.
Marhun
Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan
tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3.
Marhun
(barang yang dirahnkan). Marhun
bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas
ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan
bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4.
Jumlah maksimum dana
rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn
ditetapkan dalam prosedur.
5.
Rahin dibebani jasa
manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan,
dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah,
masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan,
dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian
staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan
dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan
plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan
berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum
Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari
nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah
melakukan akad dengan kesepakatan :
1.
Jangka waktu
penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
1.
Nasabah bersedia
membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari kelipatan
taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi
pinjaman.
2.
Membayar biaya administrasi
yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
§
melakukan penebusan
barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
§
mengangsur uang
pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan
ditambah bea administrasi,
§
atau hanya
membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah
belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya
membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan
dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa
simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi
kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam
satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah
akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
1.
E. Pendanaan
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja,
pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber
yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan
Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni
berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank
Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan
lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar
dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian
konvensional, yaitu :
1.
Di Pegadaian
konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai
sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2.
Pegadaian konvensional
hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang
bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang
jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian
konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata
lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang
mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan
penarikan bea jasa simpan.
Bab III
Penutup
1.
A. Kesimpulan
Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan
mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang
disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai
syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai
menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi
pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara
penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan
penerima gadai akan mengenakan jasa simpa
1.
B. Saran.
Al-Quran Surat Al Baqarah : 283
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Posting Komentar untuk "Pegadaian Syariah"