JUAL BELI ( AL-BAI’ )
A. PENGERTIAN
Secara etimologis jual beli berasal dari bahasa arab al-bai’ yang makna dasarnya
adalah menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam
praktiknya, bahasa ini terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni
kata as-syira’ ( beli ). Maka kata al-bai’ berarti jual
sekaligus berarti beli.
Sedangkan secara termologis, para ulama memberikan definisi yang berbeda.
Dikalangan ulama’ Hanafiyah terdapat dua definisi; jual beli adalah :
· Saling menukar harta dengan harta melalui cara
tertentu.
· Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang
sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Ulama’ madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memberikan pengertian, jual beli
adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan
pemilikan .
Pengertian ini
menekankan pada aspek milik kepemilikan, untuk membedakan dengan tukar menukar
harta/barang yang tidak mempunyai akibat milik kepemilikan seperti sewa
menyewa. Harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bisa berupa
barang atau jasa.
B. DASAR HUKUM
Islam memandang jual beli merupakan sarana tolong menolong antar sesame
manusia. Orang yang sedang melakukan transaksi jual beli tidak hanya dilihat
sebagai orang yang mencari keuntungan semata, akan tetapi juga dipandang
sebagai orang yang sedang membantu saudaranya. Bagi penjual, ia sedang memenuhi
kebutuhan barang yang dibutuhkan oleh saudaranya (pembeli). Sedangkan bagi
pembeli, ia sedang memenuhi kebutuhan akan keuntungan yang sedang dicari oleh
penjual. Atas dasar aktivitas jual beli ini merupakan aktivitas mulia, dan
Islam memperkenankannya.
Dasar Hukum Jual Beli
:
1. QS. Al Baqoroh : 275
Artinya : “… Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Ayat di atas adalah
kelanjutan dari ayat yang mengkrtik praktik ribawi yang dilakukan masyarakat
Arab pada waktu itu. Dalam ayat itu secara eksplisit bahwa jual beli merupakan
sesuatu yang hak danIslam membolehkan.
2. QS. Al Baqoroh : 198
Artiya “tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia ( rizki hasil perniagaan ) dari Tuhanmu maka
apabila kamu telah bertolak dari Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril
haram dan berdzikirlah ( dengan menyebut nama ) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang
yang sesat .”
Informasi tentang jual
beli dalam ayat di atas dibarengkan dengan penegasan terhadap etika dalam
melaksanakan jual beli berbarengan dengan ibadah haji. Ayat di atas muncul
menceritakan tentang orang arab jahiliyyah, sebelum mereka masuk Islam, mereka
terbiasa melakukan ibadah haji sekaligus juga melakukan perniagaan. Kemudian
ketika mereka masuk ke dalam Islam, banyak bertanya kepada Rasulullah tentang
keabsahan haji yang dilaksanakan bersamaan dengan perniagaan. Rasulullah
membolehkannya asalkan tidak melupakan esensi dari ibadah haji. Hal ini
menegaskan bahwa jual beli merupakan hal yang syah dan mulia.
3. QS. An Nisa’ : 29
Artinya : “Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha
Penyanyang kepadamu.”
4. Hadits dari Rifaah bin Rafi’ al-Bazzar dan al
Hakim yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya salah
seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik,
Rasulullah menjawab : “ usaha tangan manusia sendiri dan tiap jual beli yang
diberkati. Maknanya adalah jual beli yang jujur tanpa diiringi kecuranan dan
mendapat berkat dari Allah SWT.
5. Hadits Rasulullah SAW tentang penghargaan
terhadap seorang pedagang yang jujur :
Rasulullah SAW
bersabda bahwa seorang pedagang yang dapat dipercaya, jujur dan muslim di
akhirat akan bersama-sama dengan para syuhada’.”
C. RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Madzhab Hanafi menegaskan rukun
jual beli hanya 1 yaitu ijab. Jumhur ulama menetapkan rukun jual beli ada 4,
yaitu :
· Orang yang berakad ( penjual dan pembeli )
· Shighat ( lafal ijab dan qabul )
· Barang yang dibeli
· Nilai tukar pengganti.
Jual
beli dianggap syah jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut
ada yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, objek akad maupun
shighatnya. Secara terperinci syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Syarat yang berkaitan dengan pihak-pihak
pelaku, mereka harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni
sudah akil balig serta berkemampuan memilih. Sehingga jual beli tidak syah jika
dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
2. Syarat yang berkaitan dengan objek jual beli,
objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan dan milik
sepenuhnya penjual. Maka tidak syah jika memperjualbelikan bangkai, darah,
daging babi dan barang lain yang menurut syara’ tidak ada manfaatnya.
Jual beli barang yang
ada di tangan orang yang bukan pemiliknya dalam fiqh muamalah dikenal
dengan sebutan fudluli.Hukum jual beli ini syah jika disertai
dengan ikrar taukil dari pemilik barang tersebut atau atas seizing yang
memiliki barang. Kecuali madzhab Hanabilah yang berpendapat bahwa jual beli
fudluli tidak syah secara mutlak, meskipun setelah kejadian transaksi ada izin
dari orang yang berhak. Hanya saja golongan Hanabilah mengecualikan, dianggap
syah jika pembeli membeli barang atas tanggung jawab dia, bukan atas nama
siapa-siapa.
3. Syarat yang berkaitan dengan shighat akad,
yaitu ijab Kabul dilakukan dalam satu majelis antara penjual dan pembeli hadir
dalam satu ruang yang sama. Kabul sesuai dengan ijab, contoh aku jual baju ini
10.000, pembeli menjawab: saya beli baju ini Rp. 10.000
Ulama fiqh kontemporer seperti Mustafa Ahmad Az Zahra dan Wahbah Zuhaili
berpendapat bahwa satu mejelis tidak harus diartikan hadir dalam satu tempat,
tetapi satu situasi dan satu kondisi, meskipun antara keduanya berjauhan tetapi
membicarakan objek yang sama.
Tentang persyaratan terjadinya ijab dan Kabul dengan lisan muncul istilah ba’I
al-mu’athah; ialah jual beli yang dilakukan dimana
pembeli mengambil barang dan membayar, penjual menerima uang dan meyerahkan
barang tanpa ada ucapan apapun, seperti yang terjadi di swalayan. Jumhur ulama’
berpendapat boleh, apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan di sebuah negeri
dan adanya unsur rela sama rela (taradlin ), sedangkan mengambil barang dan
membayar, kemudian penual menerima uang dan meyerahkan barang menunjukkan
proses ijab Kabul yang telah menunjukkan taradin.
Madzhab Syafi’i; bai’al-mu’athah hukumnya tidak syah, karena jual beli harus
dilakukan melalui ijab Kabul yang jelas atau sindiran. Menurutnya unsur utama
jual beli adalah kerelaan yang amat tersembunyi dalam hati, dan harus
dilahirkan dengan melalui kalimat ijab Kabul. Akan tetapi ulama dari madzhab
Syafi’i kontemporer seperti al-Nawawi dan al-Baghawi menganggap syah jika
sudah menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat.
D. BENTUK-BENTUK JUAL BELI
Jual beli dapat dibagi ke dalam beerapa macam sesuai dengan sudut pandang yang berbeda.
Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Jual beli dilihat dari sisi objek dagangan,
dibagi menjadi :
a. Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan
barang.
b. Jual beli as sharf; yaitu penukaran uang
dengan uang seperti penukaran mata uang asing.
c. Jual beli muqabadlah; yaitu jual beli barter,
jual beli dengan menukarkan barang dengan barang.
2. Jual beli dilihat dari sisi cara standarisasi
harga:
a. Jual beli yang memberi peluang bagi calon
pembeli untuk menawar barang dagangan, dan penjual tidak memberikan informasi
harga.
b. Jual beli amanah, jual beli di mana penjual
memberitahukan harga beli barang dagangannya dan mungkin tidaknya penjual
memperoleh laba. Jual beli jenis ini dibagi lagi menjadi 3 jenis :
· Murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan
keuntungan yang diketahui. Penjual menjual barang dagangannya dengan
menghendaki keutungan yang akan diperoleh.
· Wadli’ah, yaitu menjual barang dengan harga di
bawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui. Penjual dengan alasan tertentu
siap menerima kerugian dari barang yang dia jual.
· Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan
menjual barang yang sesuai dengan harga beli penjual. Penjual rela tidak
mendapatkan keuntungan dari transaksinya.
c. Jual beli muzayadah (lelang), yaitu jual beli
dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu pembeli saling menawar
dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya. Lalu si penjual akan
menjual kepada pembeli yang member harga paling tinggi dan terjadilah
transaksi.
d. Jual beli munaqadlah : yakni pembeli
menawarkan untuk membeli barang dengan criteria tertentu lalu para penjual
berlomba menawarkan dagangannya. Kemudian pembeli akan membeli barang dari harga
yang termurah.
e. Jual beli muhathah; jual beli barang dimana
penjual menawarkan diskon kepada pembeli. Jual beli jenis ini banyak dilakukan
oleh super market/mini market untuk menarik pembeli.
3. Jual beli dilihat dari sisi cara pembayarannya
dibagi menjadi :
a. Jual beli dengan penyerahan barang dan
pembayarannya secara langsung.
b. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
c. Jual beli dengan pembayaran tertunda.
d. Jual beli dengan penyerahan barang dan
pembayaran sama-sama tertunda.
Posting Komentar untuk "Jual Beli Dalam Islam"