HARTA ( AL – MAAL)
1. Pengertian Harta
Secara etimologis, harta = maal (anwal) =
condong atau berpaling dari tengah ke salah satu. Secara terminologis, harta
adalah segala sesuatu yang menyenangkan manusia, dan menjadikannya untuk
condong menguasai, memelihara baik dalam bentuk materi maupun manfaat.
Ulama’ madzhab Hanafi berpendapat bahwa harta
adalah segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan ketika
dibutuhkan (sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan). Sementara
itu menurut jumhur ulama’, harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai dan
dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau yang melenyapkan.
Kedua pendapat ini memiliki akibat bahwa
apabila seseorang mempergunakan harta orang lain secara ghasab, menurut jumhur
ulama’ orang tersebut dituntut ganti rugi, karena manfaat dari harta tersebut
telah diambil oleh peng-ghasab tanpa izin.
2. Pembagian Harta dan Akibat Hukumnya
Macam-macam Harta Berdasarkan Kebolehan
Memanfaatkan
1)
Harta Mutaqawwin; ialah harta yang memiliki manfaat/nilai baik secara ekonomis
maupun secara syar’i. secara ekonomis ia bernilai jual dan secara syar’i ia
termasuk harta yang dapat memenuhi maqashid al-syari’ah al-khamsah. Misalnya
beras, harta ini mutaqawwin sebab ia bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan
makan manusia, dan syara’ mengizinkan untuk dikonsumsi.
2)
Ghairu mutaqawwin; ialah harta yang tidak memiliki nilai secara syar’i meskipun
mungkin secara ekonomis memiliki nilai. Seperti minuman keras, barang ini
secara ekonomis memiliki nilai ( dapat diperjualbelikan ) tetapi syara’
memandang bahwa harta ini tidak bernilai disebabkan adanya unsur madlarat yang
terkandung di dalamnya. Unsur madlarat tersebut bertentangan dengan al-maqashid
al-syari’ah al-khamsah. Syara’ memandang harta jenis ini tidak dipandang
sebagai harta.
Pembagian harta seperti di atas mengakibatkan :
a. Tidak dibolehkannya umat Islam menjadikan
harta ghairu mutaqawwin sebagai objek transaksi. Dengan istilah lain haram mengkonsumsinya.
b. Bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi (
sanksi pidana ) apabila mereka merusak atau melenyapkan harta ghairu
mutaqawwin.
c. Jika harta ghairu mutaqawwin berada di tangan
orang kafir, dan dilenyapkan oleh orang Islam, ulama’ berbeda pendapat, yaitu :
1. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ia tetap tidak
bernilai harta ( ghairu mutaqawwin ), sehingga umat Islam yang melenyapkan
harta tersebut tidak dituntut ganti rugi, karena ia bukan harta.
2. Ulama’ madzhab Hanafi berpendapat bahwa harta
tersebut mutaqawwin bagi kafir dzimmi, sehingga umat Islam yang melenyapkannya
tetap dituntut ganti rugi.
Pembagian Harta Berdasarkan Jenisnya
a. Harta bergerak ( al-maal al-manqul )
yaitu bentuk harta yang dapat dipindahkan pemiliknya dari satu tempat ke tempat
yang lain, misalnya mobil, uang dll.
b.
Harta tidak bergerak ( al-maal ghairu al-manqul ) yaitu harta yang tidak bisa
dipindahkan oleh pemiliknya dari satu tempat ke tempat yang lain. Misalnya
tanah, bangunan, pabrik dll.
Pembagian harta dengan jenis di atas berimplikasi pada :
1) Adanya hak syuf’ah ( hak istimewa yang
dimiliki seseorang terhadap rumah tetangganya yang akan dijual, agar rumah
tersebut terlebih dahulu ditawarkan kepadanya ) bagi harta tidak bergerak.
2) Harta yang boleh diwakafkan, menurut Hanafi,
harta yang boleh diwakafkan hanyalah yang tidak bergerak atau harta yang sulit
dipisahkan dengan harta yang tidak bergerak.
3) Seorang yang diwasiati untuk memelihara harta
anak kecil, tidak boleh menjual harta tidak bergerak si anak, kecuali atas izin
hakim dalam hal yang amat mendesak ( misalnya untuk membayar hutang si anak )
4) Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, ghasab
tidak mungkin dilakukan pada harta tidak bergerak, karena harta tersebut tidak
dapat dipindahkan, sedangkan menurut mereka syarat ghasab adalah barang yang
dighasab dapat dikuasai dan dipindahkan oleh orang yang meng-ghasab.
Berdasarkan Segi Pemanfaatannya, Harta Dibagi Atas :
a. Harta Isti’mali ialah harta yang pemanfaatannya tidak menghabiskan
benda tersebut. Manfaatnya dapat diambil dan bendanya masih tetap utuh. (
contoh : rumah, lahan pertanian, buku, dll )
b. Harta Istihlaki ialah harta yang pemanfaatannya menghabiskan
harta tersebut ( contoh makanan, sabun, korek api, dan lain-lain )
Bedasarkan Ada dan Tidaknya Di Pasaran
a. Harta al-mitsli, ialah harta yang
banyak jenisnya di pasaran, harta ini bisa ditimbang, dihitung atau ditakar
seperti gandum, kedelai, beras dan lain-lain.
b. Harta al-Qimi, harta yang tidak ada jenis yang sama di pasaran atau
ada jenisnya tetapi pada setiap satuannya berbeda dalam kualitasnya, seperti
satuan pepohonan, logam mulia dan alat-alat rumah tangga.
Jenis harta di atas berimplikasi pada :
1) Harta yang bersifat al-Qimi, tidak mungkin
terjadi riba, karena jenis satuannya tidak sama. Namun terhadap harta yang
bersifat al-mitsli bisa berlaku transaksi yang menjurus pada riba.
2) Dalam suatu perserikatan yang bersifat
al-Mitsli, seorang mitra berserikat boleh mengambil bagiannya ketika mitra
dagangnya tidak ditempat. Akan tetapi, perserikatan dalam harta yang bersifat
al-Qimi masing-masing pihak tidak boleh mengambil bagiannya selama pihak
lainnya tidak berada ditempat.
3) Apabila harta yang bersifat al-Mitsli dirusak
seseorang dengan sengaja, maka wajib diganti dengan harta sejenis. Apabila yang
dirusak adalah harta yang bersifat al-Qimi, maka ganti rugi yang harus dibayar
adalah dengan memperhitungkan nilainya.
Berdasarkan Status Harta
a. Al-maal al-mamluk, adalah harta yang telah dimiliki, baik secara
pribadi maupun badan hukum ( seperti organisasi, negara dan lain-lain )
Jenis harta ini terbagi menjadi 2 yaitu milik berserikat ( milik umum ) dan
milik individu. Harta milik berserikat seperti negara. Jika harta tersebut
milik negara, maka pemanfaatannya milik orang banyak yang diatur oleh
undang-undang. Masyarakat tidak boleh merusak dan menguasainya secara pribadi.
Sedangkan apabila harta tersebut milik individu, maka pemilik bebas
memanfaatkannya. Namun dia tidak bisa sewenang-wenang memanfaatkannya tanpa
mempertimbangkan kemaslahatan orang lain.
b.Al-maal
al-mubah, harta yang tidak dimiliki seseorang, seperti hewan buruan, kayu
dihutan belantara, air, ikan dalam lautan, dll. Harta seperti ini boleh
dimanfaatkan oleh seseorang dengan syarat memenuhi peraturan negara yang telah
disepakati dan tidak merusak kelestarian lingkungan.
c.
Al-maal al mahjur adalah harta yang dilarang syara’ untuk dikuasai individu,
baik karena harta itu harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum.
Seseorang tidak boleh menguasai harta tersebut meskipun diperbolehkan merasakan
manfaatnya.
Berdasarkan Bisa Dibagi atau Tidak
a. Harta “bisa dibagi”
adalah harta yang apabila dibagi, maka harta tersebut tidak rusak atau
manfaatnya tidak hilang. Terhadap harta seperti ini, bisa dilakukan eksekusi
putusan hakim untuk membaginya. Apabila seseorang mengeluarkan biaya untuk
memelihara harta serikat tanpa izin mitranya dan hakim, sedangkan harta serikat
tersebut termasuk harta yang bisa dibagi, maka ia tidak bisa dituntut ganti
rugi biaya yang telah dikeluarkan kepada mitranya. Biaya yang telah
dikeluarkannya dianggap sebagai sedekah.
b. Harta “tidak bisa dibagi” adalah apabila harta tersebut
dibagi akan rusak atau hilang manfaatnya. Maka keputusan hakim tidak bisa
memaksa untuk membagi harta tersebut, tetapi harus dilakukan eksekusi
berdasarkan kerelaan masing-masing pihak. Apabila ada biaya yang dikeluarkan
untuk memelihara harta seperti ini, maka tuntutan ganti rugi atas biaya
pemeliharaan harta yang dikeluarkan satu pihak dapat diajukan kepada pihak
lain.
Berdasarkan Segi Berkembangtidaknya
a. Al-maal al-ashl, ialah jenis harta yang merupakan pokok
bagi kemungkinan munculnya harta lain, seperti pohon yang menghasilkan buah,
rumah yang dapat disewakan, tanah yang bisa menghasilkan jika ditanami, dll.
b. Al-maal al-tsamr, ialah buah yang dihasilkan dari
harta seperti hasil sewa rumah, buah-buahan dari pohon tertentu, hasil
panen, dll.
Pembagian tersebut berimplikasi hukumnya adalah :
1) Asal harta wakaf tidak bisa dibagi-bagikan
kepada yang berhak menerima wakaf, tetapi buah atau hasil darinya dapat
dibagikan kepada mereka.
2) Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum
asalnya tidak bisa dibagi-bagikan, tetapi hasilnya bisa dimiliki siapapun.
Sebab-sebab Kepemilikan Harta
Pemilik hakiki harta adalah Allah SWT, manusia hanyalah sebagai pengelola dan
menguasai harta dan melakukan tindakan hukum atasnya sesuai dengan yang
digariskan oleh Allah SWT. Beberapa sebab yang menjadikan manusia bisa
melakukan tindakan hukum diantaranya adalah :
1) Ikhraj al-mubahat; penguasaan terhadap harta
yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum. Hal ini terjadi jika objek
benda belum ada hak kepemilikan atasnya, baik secara perorangan maupun secara
badan hukum termasuk negara. Seperti kayu dihutan belantara, hewan yang masih
diudara, dll.
2) Al-milk bi al-aqd; kepemilikan yang terjadi
melalui suatu akad yang dilakukan dengan seseorang atau badan hukum, seperti
dengan akad jual beli, hibah, wakaf dan lain-lain. Kepemilikan seperti ini
selalu melibatkan pihak-pihak tertentu, sehingga keabsahan sebuah kepemilikan
sangat tergantung pada persyaratan yang terkait baik bagi subjek, objek maupun
sighat akadnya.
3) Al-milk bi al-khalafiyah; kepemilikan yang
terjadi dengan cara penggantian dari seseorang kepada orang lain, seperti yang
terjadi pada kepemilikan yang disebabkan karena pewarisan. Kepemilikan jenis
ini bersifat otomatis mempunyai hak milik terhadap harta waris, jika sebab
kewarisan tersebut telah terpenuhi.
4) Tawallud min al-mamluk, yakni hasil/buah dari
harta yang telah dimiliki seseorang, baik hasil itu datang secara alami (
seperti buah dikebun) atau melalui usaha pemiliknya ( seperti hasil usaha
sebagai pekerja atau keuntungan yang diperoleh seorang pedagang )
Kepemilikan yang tidak
disebabkan oleh alasan di atas dipandang sebagai kepemilikan yang tidak syah.
Posting Komentar untuk "Harta dan Akibat Hukumnya Menurut Islam"