FIQH MU’AMALAH
1.
Pengertian Fiqh Mu’amalah
Fiqh
mu’amalah merupakan gabungan dari dua kalimat dari bahasa Arab, al-fiqh dan
al-mu’amalah. Secara lughawi masing-masing dapat dijelaskan : al-fiqh berarti
al-fahmu; pemahaman seperti yang tercermin dalam firman Allah di bawah ini :
…. Perhatikanlah
betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka
memahaminya.
Hadits Rasulullah juga memakai lafadz al-fiqh untuk
maksud al-fahmu :
Barang siapa yang
dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya, niscaya akan diberikan
kepadanya pemahaman dalam pengetahuan agama …..
Teks Al Qur’an dan al hadits di atas menunjukkan bahwa penggunaan lafadz al-fiqh diarahkan
untuk menyebut arti faham. Maka dapat dipastikan bahwa, al fiqh berarti al-fahm. Lafadz
ini digunakan semata-mata untuk menegaskan bahwa rumusan-rumusan aturan dalam
“fiqh” adalah hasil “pemahaman” mujtahid terhadap pesan Al Qur’an dan al
hadits.
Secara terminologis, fiqh adalah salah satu bidang ilmu dalam syari’at Islam
secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan
pribadi, bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan penciptanya. Rumusan
hukum yang ada dalam fiqh merupakan produk pemikiran para mujtahid dan hasil
analisa mujthid terhadap teks-teks suci Al Qur’an dan al hadits dengan
metodologi dan perangkat kerja tertentu.
Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli ushul yang menegaskan bahwa fiqh
memiliki beberapa karakteristik, diantaranya :
· Fiqh dihasilkan melalui proses ijtihad dengan
kaidah-kaidah tertentu.
· Fiqh bersumberkan dari hukum syar’iyyah (
lewat kitabullah dan sunnah Rasulullah ).
· Fiqh berkaitan dengan perbuatan manusia baik
muamalah maupun ibadah.
· Diperoleh dari dalil yang bersifat tafshili,
yaitu Al Qur’an, al-sunnah, Ijma’, qiyas dan lainnya dengan melalui proses
istidlal, istinbath, al nazdr dan lainnya.
Dari pengertian di atas, maka tidak dapat disebut fiqh, jika suatu hukum yang
dirumuskan tidak berasal dari al-nushush al-muqaddasah (nash-nash yang suci),
Al Qur’an dan al hadits. Demikian juga, tidak disebut fiqh, jika tidak
dirumuskan melalui langkah-langkah ijtihad. Namun demikian, meskipun fiqh
dipandang merepresentasikan “hukum ilahi” yang secara faktual dikenali melalui
al Qur’an al hadits, namun dari produk hukumnya tidak dapat dihindari munculnya
perbedaan pendapat di dalamnya. Sebab ruang ijtihad yang merupakan keniscayaan
saat perumusan “hukum ilahi” ini menyebabkan unsur subjektivitas mujtahid tidak
dapat dihindari. Keterlibatan unsur subjektivitas mujtahid inilah yang
menjadikan sebab munculnya pendapat yang variatif dalam fiqh.
Sedangkan kata mu’amalah adalah masdar dari fi’il “amala-yu’amilu. Kalimat ini
berasal dari fiil madhi tsulasi “amila” berarti bertindak, kemudian ada
tambahan alif setelah fa’ fiil yang mengandung arti “musyarakah”, sehingga
terbaca “amala, ya’amilu, “mu’amalatan”; artinya saling bertindak, saling
beramal.
Dan secara terminologis,
pengertian mu’amalah adalah hubungan kepentingan antar sesama manusia untuk
saling memebuhi kebutuhannya.
Ketika lafadz fiqh dan mu’amalah digabung menjadi satu, maka dia memiliki
pengertian tertentu. Yaitu kumpulan hukum yang disyari’atkan (dikenali lewat
pesan-pesan suci Al Qur’an dan al hadits) dengan metode dan prosedur tertentu
oleh orang yang kompeten (mujtahid) yang mengatur hubungan kepentingan antar
sesama manusia. Dari penelusuran seperti ini, maka fiqh mu’amalah lebih bermuatan
isu-isu hukum dari pada isu-isu ekonomi. Dengan bahasa lain, fiqh mu’amalah
adalah aturan yang ditetapkan untuk mengatur bagaimana orang berinteraksi
dengan sesamanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Lebih teoritis, pengertian fiqh mu’amalah dapat dibedakan menjadi dua :
1. Pengertian luas, adalah kumpulan hukum yang
disyari’atkan agama Islam yang mengatur hubungan kepentingan antar sesama
manusia dalam berbagai aspek. Dalam pengertian seperti ini fiqh mu’amalah
membahas semua hal yang terkait dengan pengaturan prilaku manusia baik pada
aspek perdata, pidana, hukum privat (hukum munakahat), politik, dan lain-lain.
Dalam pengertian ini, fiqh mu’amalah merupakan bagian dari ilmu fiqh, yang
terdiri dari dua bagian : fiqh ibadah dan fiqh muamalah.
2. Pengertian sempit, adalah peraturan yang
menyangkut hubungan kebendaan; ia berisi aturan-aturan tentang hak manusia
dalam hubungannya satu sama lain terkait dengan penguasaan benda,
konsumsi dan pendistribusiannya, seperti hak pembeli terhadap harta dan hak
penjual mendapatkan uang, wewenang pemilik modal memperlakukan modalnya, hak
mendapatkan keuntungan dari modal yang diinvestasikan dan lain-lain. Fiqh
mu’amalah dengan pengertian sempit ini seiring dengan pengertian yang diberikan
ulama kontemporer. Mereka mendefinisikan fiqh mu’amalah adalah aturan yang
menyangkut hubungan kebendaan atau yang disebut oleh ahli hukum positif dengan
nama hukum privat ( al qanun al madani ) hukum ini tidak lain berisi tentang
pembicaraan hak manusia dalam hubungan satu sama lain.
2. Pembagian Fiqh
Mu’amalah
Dalam perspektif ini, fiqh mu’amalah menurut al Fikri dibagi menjadi 4:
1. Al mu’amalah al madiyah; adalah mu’amalah yang
mengkaji segi obyeknya, yaitu benda. Dalam aspek ini, fiqh mu’amalah mengatur
aspek kebendaan yang dipandang oleh syara’ halal, haram, syubhat untuk
dimiliki, diperjualbelikan atau diusahakan. Al mu’amalah al madiyah memberikan
panduan kepada manusia tentang benda-benda yang layak atau tidak untuk dimiliki
dan dilakukan tindakan hukum atasnya.
2. Al mu’amalah al adabiyah, mengkaji
aturan-aturan Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia sebagai subjek
hukum terhadap sebuah benda. Dari aspek ini, fiqh mu’amalah mengatur tentang
batasan-batasan yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh manusia
terhadap benda. Al mu’amalah al adabiyah memberikan panduan bagi prilaku
untuk melakukan tindakan hukum terhadap sebuah benda. Maka, dari
perspektif ini, dalam pandangan fiqh muamalah semua prilaku manusia harus
memenuhi prasyarat “eis-normatif” agar perilaku tersebut dipandang layak untuk
dilakukan.
Berbeda dengan al Fikri di atas, Ibn Abidin membagi fiqh muamalah ke dalam
beberapa bagian diantaranya :
a. Fiqh Madiyah (hukum kebendaan); yaitu
aturan-aturan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan kehartabendaan. Aturan
tersebut terkait dengan posisi benda, cara memperolehnya dan cara
mentasarufkannya. Fiqh maliyah menggariskan tentang barang halal dan haram
disertai dengan halal dan haram dalam memperolehnya.
b. Munakahat (hukum perkawinan); aturan-aturan
yang mengatur tentang hal-hal yang terkait dengan perkawinan, diantaranya
adalah nikah, thalaq, rujuk, li’an, hadanah (pemeliharaan anak). Fiqh munakahat
meniscayakan sebuah pelembagaan bersatunya dua orang yang berlainan jenis
kelamin, bukan semata-mata mensyahkan hubungan sexual belaka akan tetapi juga
memberikan panduan terhadap terbentuknya keluarga yang manusiawi dan beradab,
demikian juga fiqh munakahat juga memberikan jalan keluar saat sebuah rumah
tangga mengalami perpecahan secara manusiawi dan beradab.
c. Fiqih murofa’at (hukum acara), yaitu hal-hal
yang mengatur tentang tata cara beracara di depan pengadilan. Fiqh murofa’at
memberikan “panduan” penyelenggaraan persidangan terhadap sebuah kasus pidana
maupun persengketaan perdata.
d. Amanat dan ariyat (pinjaman); yaitu
aturan-aturan yang berkaitan dengan aktivitas pinjam meminjam sebuah benda.
e. Tirkah (harta peninggalan); yaitu
aturan-aturan yang berkaitan dengan pengurusan harta waris, jenisnya,
pembagiannya dan pihak-pihak yang berhak atasnya.
3.Ruang Lingkup Fiqh Mu’amalah
Berdasarkan
pembagian muamalah dalam pengertian sempit di atas, ruang lingkup fiqh muamalah
dibagi menjadi dua.
Pertama,
ruang lingkup al-muamalah al-adabiyah. Dalam muamalah adabiyah ini yang menjadi
ruang lingkup pembahasan adalah aspek moral yang harus dimiliki oleh manusia
(pihak-pihak yang melakukan transaksi), seperti munculnya ijab qobul, atas
dasar keridlo’an masing-masing pihak, tidak dalam kondisi terpaksa, transparan,
jujur, bebas dari unsur gharar (penipuan) dan lain-lain demikian juga aspek
moral yang harus dijauhi seperti tadlis (tidak transparan), gharar (tipuan),
risywah (sogok), ikhtikar (penimbunan) dan semua prilaku yang merugikan
salah satu pihak yang bersumber dari indera manusia.
Kedua,
ruang lingkup al mu’amalah al madiyah; dalam al-muamalah al-madiyah ruang
lingkup pembicaraannya meliputi bentuk-bentuk perikatan (akad) tertentu seperti
jual beli (al-ba’i), gadai (rahn), al-ijarah, al-istishna’, al-kafalah,
al-hawalah, al-wakalah, al-shulh, al-syirkah, al-mudlarabah, al hibah,
al-muzara’ah, al-musaqah, al-wadi’ah, al-ariyah, al-qismah, al-qardl, dan
lain-lain. Pada prinsipnya dalam ruang lingkup al-mu’amalah al-madiyah ini
dibahas materi pokok fiqh muamalah yang terkait dengan pelembagaan akad dengan
berbagai macam jenisnya. Semua jenis akad tersebut akan menjamin dapat
terpraktikkannya al-mu’amalah al-adabiyah secara fair.
4.Prinsip-prinsip Fiqh
Mu’amalah
Di
dalam fiqh muamalah terdapat beberapa hal yang dijadikan sebagai prinsip
terkait dengan al-muamalah al-adabiyah (hal-hal yang menyangkut cara
berprilaku) dan al-mu’amalah al-madiyah (hal-hal yang menyangkut kebendaan).
Hal-hal tersebut adalah:
1. Hak; hak dapat dilihat dalam dua sisi. Ketika
ia dikatakan dengan subjek hukum ia adalah kebebasan yang dimiliki oleh subyek
hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap suatu benda. Pada sisi lain,
ketika hak dikaitkan dengan objek hukum , ia adalah ruang yang dimiliki oleh
objek hukum untuk diperlakukan sebagaimana mestinya. Beberapa hal yang perlu
diperhatkan dalam mendiskusikan hak :
a. Dari segi pemilik hak (subjek hukum), ia
dibagi menjadi :
· Hak Allah; fiqh muamalah memandang bahwa dalam
beberapa hal, secara hakikat sebuah kasus hukum menjadi hak penuh Allah SWT.
Posisi manusia adalah sebatas dari hasil objektivikasi dari yang hakiki
tersebut. Misalnya dalam kasus zakat, pada hakikatnya benda zakat adalah hak
Allah yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang telah berstatus muzakki.
Sedangkan 8 asnaf yang menjadi mustahik sebatas pada objektivikasi dari hak
yang hakiki tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada tanah wakaf, jumhur
‘ulama’ berpendapat hakikatnya tanah yang telah diwakafkan menjadi hak Allah,
sedangkan Nazhir secara hakiki bukan pemilik atas tanah wakaf tersebut. Dia
adalah hasil objektivikasi dari hak hakiki atas tanah tersebut.
· Hak manusia; adalah kewenangan melakukan
tindakan hukum yang dimiliki oleh seseorang secara pribadi.
· Hak berserikat (hak bersama), adalah
kewenangan melakukan tindakan hukum yang dimiliki secara bersama oleh beberapa
orang. Timbulnya hak bersama dibedakan menjadi dua. Pertama, dengan cara
mengikatkan diri dengan melakukan akad musyara’at, mudlarabah dan lain-lain.
Kedua, tanpa didahului dengan akad. Beberapa orang secara otomatis mendapatkan
hak bersama atas sebuah benda, seperti hak waris. Selama harta waris belum
terbagi, maka kepemilikan atas harta waris masih ditangan ahli waris yang
syah secara bersama-sama.
b. Dari segi objek, hak dibagi menjadi :
· Haq al-mal; adalah seseorang yang terkait
dengan harta. Dalam konteks ini harta merupakan pemenuhan hak seseorang yang
telah terlanggar haknya. Jika tindakan seseorang yang berprestasi, maka dia
berhak atas sejumlah benda yang telah diperjanjikan. Maka di sini keberadaan
benda tersebut nerupakan pengganti dari hak seseorang dan tidak bisa digantikan
dengan wujud lain.
(yang tidak terkait
dengan harta); misalnya hak yang muncul akibat tindakan pidana. Dalam fiqh
jinayat disebutkan bahwa seorang pencuri harus dikenai hukum potong tangan.
· Haq al-syakhsyi (hak pribadi), aalah hak yang
melekat pada manusia sebagai subjek hukum atas benda. Hak pribadi bisa muncul
dari dirinya sendiri dan dapat juga diawali dari munculnya hak berserikat.
· Haq al-‘aini; hak yang melekat pada materi
secara hakiki. Sebuah benda, dari sisi kepemilikan dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu dari aspek kepemilikan dan aspek penguasaan benda. Maka sebuah
benda yang ada ditangan seseorang, belum tentu benda tersebut dikuasai orang
tersebut. Inilah yang disebut dengan hak hakiki.
· Haq mujarrad; hak murni yang melekat pada
seseorang yang tidak bisa memberikan implikasi pada orang lain. Misalnya, dalam
persoalan hutang, jika pemberi hutang menggugurkan hutangnya, maka hal tersebut
tidak memberi bekas sedikitpun bagi yang berhutang.
· Haq ghairu al-mujarad (hak apabila digugurkan
akan tetap memberikan bekas bagi yang melanggar hak, misalnya qisas, apabila
ahli waris memaafkan pembunuh, pembunuh yang tadinya halal untuk dibunuh, jadi
haram dibunuh.
2. Milik; adalah pengkhusussan seseorang atas
suatu benda yang memungkinkan untuk bertindak hukum terhadap benda tersebut
sesuai dengan keinginannya atau dalam Islam dikenal sebagai kepemilikan. Islam
memandang kepemilikan manusia tidaklah mutlak. Manusia bukanlah pemilik hakiki
atas harta yang ada ditangannya, dia hanya sebagai pengelola saja. Pemilik
hakiki harta tersebut adalah Allah. Oleh karena itu, tindakan hukum terhadap
suatu harta yang ada dalam penguasaan manusia harus sesuai dengan yang
digariskan oleh Allah. Dari sinilah akan muncul konsep haram dan mubah dalam
pengelolaan harta. Dikatakan haram jika manusia mengelola harta tersebut tidak
sesuai dengan ketentuan Allah, dikatakan mubah/halal jika manusia mengelola
harta tersebut sesuai dengan ketentuan Allah.
Beberapa hal yang
terkait dengan kepemilikan adalah :
a. Harta (objek kepemilikan); ialah segala
sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi
maupun dalam bentuk manfaat.
Ulama’ fiqh membagi
harta yang bisa dimiliki seseorang kepada 3 bentuk :
1. Harta yang bisa dimiliki dan dijadikan dalam
penguasaan seseorang secara khusus, misalnya milik yang dihasilkan melalui
sebab-sebab kepemilikan.
2. Harta yang sama sekali tidak bisa dijadikan
milik pribadi, yaitu harta yang ditetapkan untuk kepentingan umum.
3. Harta yang hanya bisa dimilki apabila ada
dasar hukum yang membolehkannya, seperti wakaf yang biaya pemeliharaannya
melebihi nilai harta itu sendiri.
b. Tasharruf; ialah segala tindakan yang muncul
dari seseorang dengan kehendaknya terhadap sebuah benda yang ada dalam
penguasannya, dan syara’ menetapkan beberapa hak atas orang tersebut.
Tasharruf ada dua
macam :
1. Tasharruf fi’il; segala tindakan yang
dilakukan dengan anggota badan selain lidah, berupa perbuatan dan pengalaman.
Seperti melakukan serah terima barang, membuat mebeler hasil pesanan dan
lain-lain.
2. Tasharruf qauli; ada dua bentuk : qauli aqdi
ialah perkataan kedua belah pihak yang menyebabkan terjadinya perikatan seperti
jual beli dan sewa menyewa; qauli gharu aqdi ialah pernyataan mengadakan hak
atau menggugurkannya
( seperti wakaf dan
talak ) dan ada berupa tuntutan hak seperti gugatan, ikrar dan sumpah untuk
menolak gugatan.
Dalam fiqh muamalah
harta dan tasharruf merupakan dua entitas yang menyatu. Keduanya mengenal
adanya aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT yang harus dipenuhi. Harta
yang ada dalam naungan ridla Allah SWT untuk dikonsumsi maka ia disebut sebagai
harta halal. Sebaliknya harta yang diluar ridla Allah SWT untuk dikonsumsi,
maka ia disebut harta haram. Demikian juga persoalan pentasharrufannya
(pengelolaannya). Jika pengelolaan sebuah benda berada dalam ridla Allah, maka
harta halal menjadi halal, namun sebaliknya, jika sebuah harta
ditasharrufkan/dikelola di luar ridla Allah, maka harta tersebut dikatakan
haram, meskipun dari sisi dzatnya ia halal.
Posting Komentar untuk "Fiqih Muamalah"