AKAD
A. Pengertian
Secara lughawi, makna akad adalah perikatan, perjanjian, pertalian,
permufakatan. Sedangkan secara istilahi, akad didefinisikan sebagai pertalian
ijab dan Kabul dari pihak-pihak yang menyatakan kehendak, -sesuai dengan
kehendak syari’at-, yang akan memiliki akibat hukum terhadap objeknya.
Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa, pertama, akad merupakan
keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berpengaruh terhadap munculnya
akibat hukum baru. Kedua, akad merupakan tindakan kedua
belah pihak. Ketiga, dilihat dari tujuan
dilangsungkannya akad, ia bertujuan untuk melahirkan akibat hukum baru.
B. Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun
menjadikan tidak adanya akad. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa rukun akad
terdiri dari :
· Al-Aqidain ( pihak-pihak yang berakad )
· Objek akad
· Sighat al-aqd ( pernyataan untuk menikatkan
diri )
· Tujuan akad.
Berbeda
dengan jumhur ulama’, madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya satu
yaitu sighatu al aqd berupa ijab dan kabul.
1. Syarat terbentuknya akad ( al syuruth
al-in’iqad ) :
· Pihak yang berakad ( aqidain ), disyaratkan
tamyiz dan berbilang.
· Shighat akad ( pernyataan kehendak ); adanya
kesesuaian ijab dan Kabul ( munculnya kesepakatan ) dan dilakukan dalam satu
majlis akad.
· Objek akad; dapat diserahkan, dapat ditentukan
dan dapat ditransaksikan ( benda yang bernilai dan dimiliki )
· Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara’
2. Syarat keabsahan akad, adalah syarat tambahan
yang dapat mengabsahkan akad setelah syarat in’iqad tersebut dipenuhi. Yaitu :
· Pernyataan kehendak harus dilaksanakan secara
bebas. Maka jika pernyataan kehendak tersebut dilakukan dengan terpaksa, maka
akad dianggap fasid.
· Penyerahan objek tidak menimbulkan madlarat.
· Bebas dari gharar, adalah tidak ada tipuan yang
dilakukan oleh para pihak yang berakad.
· Bebas dari riba.
3. Syarat-syarat berlakunya akibat hukum; adalah
syarat yang diperlukan bagi akad agar akad tersebut dapat dilaksanakan akibat
hukumnya. Syarat-syarat tersebut adalah :
· Adanya kewenangan sempurna atas objek akad.
· Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang
dilakukan; persyaratan ini terpenuhi dengan para pihak yang melakukan
akad adalah mereka yang dipandang mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum
yang dibutuhkan. Tindakan hukum anak kecil dianggap mauquf di kekuasaan
walinya. Artinya ia baru dianggap memiliki implikasi hukum jika tindakannya
atas seizing wali.
4. Syarat mengikat ( al-Syarth al-luzum ); sebuah
akad yang sudah memenuhi rukun-rukunnya dan beberapa macam syarat sebagimana
yang dijelaskan di atas, belum tentu membuat akad tersebut dapat mengikat
pihak-pihak yang telah melakukan akad. Ada persyaratan lagi yang menjadikannya
mengikat, diantaranya :
· Terbebas dari sifat akad yang sifat aslinya
tidak mengikat kedua belah pihak, seperti akad kafalah ( penanggungan ). Akad
ini menurut sifatnya merupakan akad tidak mengikat sebelah pihak, yaitu tidak
mengikat kreditor ( pemberi hutang ) yang kepadanya penanggungan diberikan.
Kreditor dapat secara sepihak membatalkan akad penanggungan dan membebaskan
penanggung dari konsekuensinya. Bagi penanggung akad tersebut mengikat
sehingga ia tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan kreditor.
· Terbebas dari khiyar; akad yang masih
tergantung dengan hak khiyar baru mengikat tatkala hak khiyar berakhir. Selama
hak khiyar belum berakhir, akad tersebut belum mengikat.
C Pembagian Akad
a. Dilihat dari sisi ditentukan nama atau
tidak, akad dibedakan menjadi :
1. Akad bernama ( al-aqd al-Musamma
) adalah akad yang tujuan dan namanya sudah ditentukan oleh pembuat hukum.
Tujuan akad bernama ini adalah :
a. Pemindahan hak milik dengan imbalan maupun tanpa imbalan (al-tamlik)
b. Melakukan pekerjaan ( al-amal )
c. Melakukan persekutuan ( al-isytirak )
d. Melakukan pendelegasian ( al-tafwidl )
e. Melakukan penjaminan ( al-tautsiq )
2. Akad tidak bernama, ialah akad yang namanya tidak ditentukan oleh
pembuat hukum.
b. Dilihat dari sisi kedudukan akad, dibedakan
menjadi dua :
1. Al-aqdal-ashli ( akad pokok ), ialah akad yang keberadaannya tidak
tergantung dengan akad lain. Termasuk dalam jenis ini adalah semua akad yang
keberadaannya karena dirinya sendiri, seperti akad jual beli, sewa menyewa,
penitipan, dll.
2. Al-aqd al-tabi’I, adalah akad yang keberadaannya tergantung kepada
suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau syah dan tidaknya akad
tersebut. Yang termasuk ke dalam akad ini adalah akad penanggungan ( al-kafalah
) dan akad gadai. Kedua akad ini termasuk perjanjian untuk menjamin.
c. Dilihat dari tempo yang berlaku bagi sebuah
akad, dibagi menjadi :
1. Al-aqd al-zamani ( akad yang bertempo ); ialah akad yang menjadi
unsure waktu sebagai bagian dari akad tersebut. Yang trmasuk dalam akad ini
adalah sewa menyewa, akad penitipan, akad pinjam meminjam, akad pemberian
kuasa, dll.
2. Al-aqd al-fauri ( akad tidak bertempo ); akad dimana unsure
waktu bukan merupakan bagian dari sisi perjanjian. Misalnya jual beli, ia dapat
terjadi seketika tanpa harus mempertimbangkan unsure waktu yang ada di
dalamnya.
d. Dilihat dari aspek formalitasnya, akad
dibedakan menjadi dua :
1. Akad konsensual ( al-aqd al-Radla’I ); yaitu akad yang terwujud atas
kesepakatan para pihak tanpa ada persyaratan formalitas tertentu.
2. Akad formalistic ( al-aqd al-syakli ); akad yang tunduk dalam
syarat-syarat yang ditentukan oleh pembuat hokum. Jika syarat tersebut tidak
dipenuhi, maka akad ersebut tidak syah. Contoh : syahnya akad nikah harus
terpenuhi formalitas kehadiran pihak-pihak yang mau menikah dan kesaksian para
saksi.
3. Akad riil ( al-aqd al-aini ); adalah akad yang untuk terjadinya
diharuskan adanya penyerahan tunai objek akad, dimana akad tersebut belum
terjadi dan belum menimbulkan akad hokum apabila belum dilaksanakan. Ada 5 akad
yang masuk dalam jenis ini, yaitu : hibah, pinjam pakai, peniipan, hutang, akad
gadai.
e. Dilihat dari segi dilarang dan tidaknya,
akad dibedakan menjadi dua :
1. Akad masyru’; akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak
ada larangan untuk menutupnya.
2. Akad ghairu masyru’ ( terlarang ); akad yang dilarang oleh syara’
untuk dibuat karena dianggap bertentangan dengan moral Islam dan ketertiban
umum.
f. Dilihat dari keabsahannya; dibedakan
menjadi :
1. Akad syah, adalah akad yang memenuhi
rukun dan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh syara’. Akad ini
dibedakan menjadi 3 yaitu akad lazim, akad nafidz, dan akad mauquf.
2. Akad tidak syah, adalah akad yang tidak memnuhi rukun dan
syarat-syarat yang ditetapkan oleh syara’. Akad ini dibedakan menjadi 2 yaitu
akad fasid dan akad bathil.
Perbedaan akad “syah-tidak syah” dengan akad “masyru’-gahiru masyru’
(terlarang)” terletak pada penekannya. Dalam akad “masyru’-ghairu masyru’”
titik tekan berada pada dali-dalil yang membolehkannya atau melarang akad
tersebut. Sedangkan dalam akad “syah-tidak syah” yang menjadi titik tekan
adalah terpenuhinya rukun dan syarat akad. Bisa jadi sebuah akad pada awalnya
disyari’atkan, akan tetapi akad tersebut tidak memenuhi rukun dan syaratnya.
Maka aka seperti ini dipandang sebagai akad yang masyru’ tetapi tidak syah
untuk dilaksanakan.
g. Dilihat dari mengikat dan tidaknya
1. al-aqd al-lazim, ialah akad yang apabila terpenuhi semua syarat dan
rukunnya, maka akad tersebut mengikat terhadap masing-masing pihak. Dan mereka
tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan
menjadi 2; pertama akad yang mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli,
akad sewa menyewa, perdamaian , dll. Dan kedua, mengikat salah satu pihak
tetapi tidak pada yang lain. Contoh kafalah (penanggungan ) dan gadai (rahn)
kedua akad ini mengikat terhadap penanggung dan penggadai dimana keduanya tidak
dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak untuk siapa penanggungan dan gadai
diberikan. Sebaliknya, bagi pihak terakhir ini, penanggungan dan gadai tidak
mengikat dalam arti ia dapat membatalkannya secara sepihak.
2. Akad tidak mengikat akad yang masing-masing pihak dapat membatalkan
perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi 2, pertama
akad yang sifat aslinya tidak mengikat ( terbuka untuk difasakh ) seperti wakalah,
hibah, wadi’ah dll. Kedua, akad yang tidak mengikat karena di dalamnya terdapat
khiyar.
h. Dilihat dari aspek terlaksananya akad,
dibagi menjadi :
1. Akad nafidz, akad yang bebas dari setiap factor yang menyebabkan tidak
dapatnya akad tersebut dilaksanakan. Akad tercipta secara syah dan langsung
dapat menimbulkan akibat hokum.
2. Akad mauquf; akad yang tercipta secara syah tetapi ditangguhkan
dan baru dapat menimbulkan akibat hokum tergantung kepada ratifikasi pihak yang
berkepentingan
Posting Komentar untuk "Akad Dalam Agama Islam"