Sunnah Dalam Hukum Islam



(Sunnah Dalam Hukum Islam)


A.  Al-sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
B.  Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang keduasetelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
3. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama.
2.2.2   Hubungan Al-hadits/As-sunnah Dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnahdalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1.     Bayan Tafsiryaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat).
2.      Bayan Taudhih: yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.
C.  Dapatkah As-sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama
2.2.4   Perbuatan Nabi Muhammad SAWBerfungsi Sebagai Sumber Hukum
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1.       Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya. Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
a.       Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
b.      Boleh beristri lebih dari empat wanita. Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2.      Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya. Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
a.       Shalat Dhuha’: Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
b.       Qiyamullail: Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW
c.       Bersiwak: Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
d.      Bermusyawarah: Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
e.        Menyembelih kurban (udhhiyah): Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
3.      Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
a.       Menerima harta zakat, Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait)
b.      Makan makanan yang berbau: Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu. Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
c.       Haram menikahi wanita ahlulkitab: Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi. Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAWTidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya


Posting Komentar untuk "Sunnah Dalam Hukum Islam"