Sadd
az-Dzari’ah dan Fath adz-Dzari’ah
A. PENGERTIAN SADDU
DZARI’AH
1.
Secara Etimologis
Kata sadd
adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة).
Secara
etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan kata benda
abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut
berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.[1] Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة)
merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan,
sarana (wasilah)[2]dan sebab terjadinya sesuatu.[3] Bentuk
jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع).[4] Karena
itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi
Ulum al-Ushul karya al-Qarafi,[5] istilah yang digunakan
adalah sadd adz-dzara’i.[6]
Pada awalnya,
kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan
orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa
mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping
unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan
binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah,
menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan
sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang
lain.[7]
2.
Secara Terminologi
Menurut
al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan
tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun
jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka
kita harus mencegah perbuatan tersebut.[8]Dengan ungkapan yang senada,
menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara
yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang
dilarang (al-mahzhur).[9]
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi
menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang
boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang
dilarang (mamnu’).[10] Menurut Mukhtar Yahya dan
Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau
menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[11] Sedangkan
menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa
berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.[12]
Dari beberapa contoh
pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan
asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara
umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di
samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang
pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim
tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai
pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
B.
KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARI’AH
Sebagaimana halnya
dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-dzari’ah merupakan
salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam
Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd
adz-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama
sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam
karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam
asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam
kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai
metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan
kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai
metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya
pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd
adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah
mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi
sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu
yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari
Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[13]
Contoh kasus
penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang
wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang
untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang
mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan
tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd
adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu
pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.[14]
Sedangkan kasus paling
menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd
adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau
kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi
berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara
kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen.
Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang
karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada
pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu
dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.[15]
Transaksi seperti
inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba
yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah
penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp.
100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna
apa-apa.[16]
Sementara bagi mazhab
Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak
menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan
tersebut.Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual
tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen
yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang
tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang
dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi
yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga
mengandung unsur riba.[17]
Bagi mazhab Syafii,
transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin
dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan
dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam
akad, bukan niat dan maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang
sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas
terbukti.[18]
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka
yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir
al-lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil
penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan,
meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka
konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata produk akal dan
tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064
M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan
khusus untuk menolak metode sadd adz-dzari’ah dalam
kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub
pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzari’ah dalam
pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam
beragama). Sadd adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk
bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir
pada hal-hal yang dilarang. Konsep sadd adz-dzari’ah tidak
bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau
pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash dan
ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak
bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang
jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari
nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.[19]
Contoh kasus penolakan
kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah
ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang
mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras
hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu
akan bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk sekedar
mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun
bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang
jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan
perkawinan adalah sesuatu yang halal.[20]
Meskipun terdapat
ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd adz-dzari’ah, namun
secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab:
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu
jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd
adz-dzari’ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab
Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu
karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada
Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan
berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan.
Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga
bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan
syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika
memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah
melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd adz-dzari’ah adalah
sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
Dengan sadd
adz-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas
dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak
disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd
adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li
ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan,
namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena
faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan
itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut
sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu
halal.
Terkait dengan
kedudukan sadd adz-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor
wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd
adz-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang
mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan
umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat
untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di
samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd
adz-dzari’ah cenderung menjadi bias gender. Sadd
adz-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk
berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi
mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.[21]
Sinyalemen Elliwarti
Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu
dipersalahkan bukanlah sadd adz-dzari’ah-nya, namun orang yang
menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd
adz-dzariah tentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq
al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi
tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa
dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzari’ah menimbulkan
sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
C.
DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARI’AH
1.
Alquran
Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami
jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 108).
Pada ayat di atas,
mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang
akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang
dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism
defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci
Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum
balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain
merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi
katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104).
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa
dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena
adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa
‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.”
Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun
memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka
menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا)sebagai
bentuk isim fail dari masdar kata ru’unah (رُعُوْنَة)yang
berarti bodoh atau tolol.[22] Karena itulah, Tuhan pun menyuruh
para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka
pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina.
Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi
dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.[23]
2.
Sunah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ
وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amr
RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang
lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana
caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang
lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun
membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”[24]
Hadis ini dijadikan
oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd
adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih
dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar
untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari’ah.[25]
3.
Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih
yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ
أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan
(mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).[26]
Kaidah ini merupakan
kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai
kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd
adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa
dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang
harus dihindari.
4.
Logika
Secara logika, ketika
seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala
hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika
seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal
yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan
ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah
melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan
perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan
menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan
perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang
telah ditetapkan.”[27]
D.
MACAM-MACAM ADZ-DZARI’AH
Dilihat dari aspek
akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi
empat macam, yaitu:[28]
1.
Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal
ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan
perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2.
Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun
secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu
keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah
ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh
lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul
unsur riba.
3.
Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang
kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang
diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang
musyrik.
4.
Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan
lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang
sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari
aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi
tiga macam, yaitu:
1.
Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan
atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam
anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga
meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2.
Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang
yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali
sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa
dilewati dan akan mencelakakan orang.
3.
Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti
memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli
berjangka karena khawatir ada unsur riba.[29]
E.
PERBEDAAN ADZ-DZARI’AH DENGAN MUQADDIMAH
Wahbah az-Zuhaili
membedakan antara adz-dzari’ah dengan muqaddimah. Beliau
mengilustrasikan bahwa adz-dzariah adalah laksana tangga yang
menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana
fondasi yang mendasari tegaknya dinding.[30]
Dengan demikian, adz-dzariah dititikberatkan
kepada bahwa ia sekedar sarana dan jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan
tertentu yang menjadi tujuannya. Ia bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang
berdiri sendiri. Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada
bahwa ia merupakan suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian
perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah merupakan perbuatan
pendahuluan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian perbuatan.
Misalnya, sa’i merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan yang
diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji sendiri merupakan
kewajiban.
F.
FATHU ADZ-DZARI’AH
Kebalikan dari sadd
adz-dzari’ah adalah fath adz-dzari’ah. Hal ini karena
titik tolak yang digunakan adalah adz-dzari’ah. Dalam mazhab
Maliki dan Hambali, adz-dzari’ah memang ada yang dilarang dan
ada yang dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang
notabene dari mazhab Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari
mazhab Hambali. Adz-dzari’ah adakalanya dilarang sehingga
pelarangan itu disebut sadd adz-dzari’ah; adakalanya
dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath
adz-dzari’ah.[31]
Secara terminologis,
bisa dipahami bahwa fath adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum
atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam
bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab), maupun
mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi
sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau
diperintahkan.
Contoh dari fath
adz-dzari’ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib,
maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan
lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan,
maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha menuntut
ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus
digarisbawahi adalah bahwa betapapun adz-dzariah (sarana)
lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya.
Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan
perbuatan yang menjadi tujuannya.[32]
Pembahasan
tentang fath adz-dzariah tidak mendapat porsi yang banyak di
kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath
adz-dzariah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd
adz-dzari’ah. Sementara sadd adz-dzari’ah sendiri
tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath hukm.
Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah,
masalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah masuk
dalam bab penerapan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ
الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Jika suatu kewajiban
tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun
wajib pula untuk dilaksanakan .[33]
Kaidah tersebut
berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari
suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah
satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd
adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Apa yang
dimaksudkan adz-dzari’ah oleh ulama Maliki dan Hambali,
ternyata bagi ulama Syafi’i adalah sekedar muqaddi
Posting Komentar untuk "Sadd Az-Dzari'ah dan Fath Adz-Dzari'ah Dalam Ushul Fiqih"