Masaqid Al-Syariah Dalam Ushul Fiqih



Maqasid Al-Syariah

Klasifikasi Maqashid
Berikut ini akan ditelaah secara panjang lebar substansi maqashid al-syari’ah yang terdapat dalam pemikiran al-Syathibi dan pemikir lainnya. Pembahasan ini terfokus pada pemikiran maqashid dan dasar-dasar yang membangunnya.


Imam al-Syathibi membahas maqashid al-syari’ah dalam kitabnya al-Muwafaqat juz II sebanyak 313 halaman (menurut buku cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Persoalan yang dikemukakan di dalamnya sebanyak 62 masalah.
Dalam pembahasannya, Imam al-Syathibi membagi al-maqashid ini kepada dua bagian penting yakni maksud syari’ (qashdu al-syari’) dan maksud mukallaf (qashdu al-mukallaf). Maksud syari’ kemudian dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:
1.    Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah (maksud syari’ dalam menetapkan syariat).
Dalam bagian ini ada 13 permasalahan yang dikemukakan, namun semuanya mengacu kepada suatu pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud syari’ dengan menetapkan syari’atnya itu?”
Menurut imam al-Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri (al-Syathibi, t.t; 6). al-Syathibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat(skunder) dan tahsinat  (tersier, lux).
a.    Dharuriyyat (primer)
Maqashid atau maslahat dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya (al-Syathibi, Juz II, t.t: 7). Yang termasuk maslahat atau maqashid dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql) (al-Syatibi, Juz II, t.t: 8).[i]
Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu, pertama, dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya, dan kedua, dari segi tidak ada (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh:
1)      Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya shalat dan zakat,
2)      menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad,
3)      menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan minum,
4)      menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qishash dan diyat,
5)      menjaga akal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari ilmu,
6)      menjaga akal dari segi al-‘adam misalnya had bagi peminum khamr,
7)      menjaga keturunan dari segial-wujud misalnya nikah,
8)      Menjaga keturunan dari segi al-‘adam misalnya had bagi pezina dan muqdzif,
9)      menjaga harta dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki, dan
10)  menjaga harta dari segi al-‘adam misalnya riba, memotong tangan pencuri.
Cara kerja dari kelima dlaruriyyat di atas adalah masing-masing harus berjalan sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din harus lebih didahulukan daripada menjaga yang lainnya; menjaga al-nafs harus lebih didahulukan dari pada al-aql dan alnasl begitu seterusnya. Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan adalah membunuh diri (Ing: sucide) atau menceburkan diri dalam kebinasaan adalah sesuatu yang dilarang sebagaimana bunyi teks dalam surat al-Baqarah. Akan tetapi kalau untuk kepentingan berjihad dan kepentingan agama Allah, menjadi boleh karena sebagaimana telah disinggung di atas bahwa menjaga agama harus didahulukan dari pada menjaga jiwa. Oleh kerena itu, sebagian besar para ulama membolehkan istisyhad para pejuang Palestina dengan pertimbangan hukum di atas.
Akan tetapi bagaimana dengan kasus orang sakit yang karena suatu kebutuhan pengobatan boleh dilihat auratnya atau musafir yang boleh mengqashar shalat, bukankah itu berarti al-nafs lebih didahulukan dari pada al-din?
Persoalan ini sesungguhnya bukanlah persoalan baru. al-Amidy, misalnya, telah mengulas secara panjang lebar dalam al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam (sebagian membacanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam) juz IV halaman 243-245. Dalam kesempatan ini penulis akan mengutip pendapat Abdullah Darraz karena lebih ringkas. Menurutnya bahwa dalam tataran umum agama harus lebih didahulukan daripada yang lainnya karena ini menyangkut ushul al-din, sedangakan dalam hal tertentu jiwa dan harta terkadang lebih didahulukan dari pada agama (mustatsnayyat). Disinilah dibutuhkan kejelian seorang mujtahid (Daraz, Juz II, t.t: 154).

b.    Hajiyyat (skunder)
Maqashid atau Maslahah Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan masyaqqah dan kesempitan. (al-Syathibi, t.t: 9). Misalnya, dalam masalah ibadah adalah adanya rukhsah; shalat jama dan qashar bagi musafir.
c.    Tahsinat  (tersier, lux).
Maqashid atau Maslahah Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak manurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Di antara contohnya adalah thaharah, menutup aurat dan hilangnya najis (al-Syathibi, t.t: 9).
Untuk memperjelas maqashid atau maslahah dikaitkan dengan tiga tingkat kepentingan; dharuriyathajiyat dan tahsiniyat, maka perlu diterangkan keterkaitan atau cara kerjanya:
a.    Memelihara Agama (hifz al-din)
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1)      Memelihara agama dalam peringkat dlaruriyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Bila shalat ini diabaikan, maka terancam eksistensi agamanya
2)      Memelihara agama dalam peringkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan qasar bagi musafir. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, tidak mengancam eksistensi agama, cuma dapat mempersulit pelaksanaannya.
3)      Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya menutup aurat baik di dalam maupun diluar shalat dan membersihkan pakaian, badan dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji. Apabila semua itu tidak dilakukan karena tidak memungkinkan, maka tidak mengamcam eksistensi agama. Namun demikian, tidak berarti tahsiniyat itu dianggap tidak perlu, sebab peringkat ini akan menguatkan dlaruriyat dan hajiyat.
b.    Memelihara Jiwa (hifz al-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1)      Memelihara jiwa pada peringkat dlururiyat adalah memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok itu diabaikan akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia
2)      Memelihara jiwa pada peringkat hajiyat adalah dibolehkannya berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan tidak akan mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya dapat mempersulit hidupnya.
3)      Memelihara jiwa pada peringkat tahsiniyat seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika. Sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia atau mempersulitnya.
c.    Memelihara Akal (hifz al-aql)
Memelihara akan, dilihat dari kepentingannya dapat dibagi menjadi tiga perinkat:
1)      Memelihara akan pada peringkat dlaruriyat, seperti diharamkan minum minuman keras. Apabila ketentuan ini dilanggar akan berakibat terancamnya eksistensi akal manusia.
2)      Memelihara akal pada peringkat hajiyat, seperti dianjurkan untuk menuntuk ilmu pengetahuan. Sekirannya kegiatan itu tidak dilakukan tidak akan merusak eksistensi akal, akan tetapi dapat mempersulit seseorang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan akhirnya berimbas kesulitan dalam hidup.
3)      Memelihar akal pada peringkat tahsiniyat, menghindarkan diri dari kegiatan menghayal dan mendengarkan atau melihat melihat sesuatu yang tidak berfaedah. Kegiatan itu semua tidak secara langsung mengancam eksistensi akal manusia.
d.    Memelihara Keturunan (hifz al-nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari kebutuhannya dapat dibagi menjadi tiga:
1)      Memelihara keturunan pada peringkat dlaruriyat, seperti disyariatkannya menikah dan dilarangnya berzina. Apabila hal ini diabaikan dapat mengancam eksistensi keturunan.
2)      Memelihara keturunan pada peringkat hajiyat, seperti ditetapkan menyebut mahar bagi suami ketika melangsungkan akad nikah dan diberikannya hak talak kepadanya. Bila penyebutan itu tidak dilakukan maka akan mempersulit suami, karena diharuskan membayar mahar misl. Juga talak, bila tidak dibolehkan akan mempersulit rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan lagi.
3)      Memelihara keturunan pada peringkat tahsiniyat, seperti disyariatkannya khitbah (peminangan) dan walimah (resepsi) dalam pernikahan. Hal ini dilakukan untuk melengkapi acara pernikahan. Bila tidak dilakukan tidak mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula mempersulit.
e.    Memelihara Harta (hifz al-maal)
Memelihara harta, ditinjau dari kepentingannya dibagi menjadi tiga peringkat:
1)      Memelihara harta pada peringkat dlaruriyat, seperti disyariatkan tata cara kepemilikan melalui jual beli dan dilaranganya mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar seperti mencuri. Apabila aturan ini dilanggar akan mengancam eksistensi harta
2)      Memelihara harta pada peringkat hajiyat, seperti  disyariatkannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai tidak akan mengancam eksistensi harta
3)      Memelihara harta pada peringkat tahsiniyat, seperti perintah menghindarkan diri dari penipuan dan spekulatif. Hal ini berupa etika bermuamalah dan sama sekali tidak mengancam kepemilikan harta apabila diabaikan. (Mu’allim dan Yusdani, 1999; 58-61)
2.    Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah lil Ifham (maksud Syari’ dalam menetapkan syari’ahnya ini adalah agar dapat dipahami).
Bagian ini merupakan pembahasan yang paling singkat karena hanya mencakup 5 masalah. Dalam menetapkan syari’atnya, Syari’ bertujuan agar mukallaf dapat memahaminya, itulah maksud dari bagian kedua.
Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syari’ah ini diturunkan dalam Bahasa Arab sebagaimana firmanNya dalam surat Yusuf ayat 2; as-Syu’ara: 195. Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami seluk beluk dan uslub Bahasa Arab.
Dalam hal ini imam al-Syathibi berkata: “Siapa orang yang hendak memahaminya, maka dia seharusnya memahami dari sisi lidah Arab terlebih dahulu, karena  tanpa ini tidak mungkin dapat memahaminya secara mantap. Inilah yang menjadi pokok dari pembahasan masalah ini” (Mu’allim dan Yusdani, 1999: 50).
Dengan bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk memahami syari’at ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab seperti ushul fiqih, mantiq, ilmu ma’ani dan yang lainnya. Karenanya, tidaklah heran apabila bahasa Arab dan ushul fiqih termasuk persyaratan pokok yang harus dimiliki seorang mujtahid.
Kedua, bahwa syari’at ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya tidak membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar syari’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk memahami syari’at ini memerlukan bantuan ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal pemahaman dan dalam pelaksanaan (Mu’allim dan Yusdani, 1999: 53). Syari’ah mudah dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal kepada konsep maslahah (fahuwa ajraa ‘ala i’tibari al-maslahah) (Mu’allim dan Yusdani, 1999: 53)
Di antara landasan bahwa syari’at ini ummiyyah adalah karena pembawa syari’at itu sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummi sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya surat al-Jum’ah ayat 2, al-Araf ayat 158, al-Ankabut 48 dan keterangan-keterangan lainnya.
Ada kecenderungan berlebihan dari sebagian ulama yang tidak sesuai dengan sifatsyari’ah ummiyyah ini, lanjut al-Syathibi, yaitu bahwa al-Qur’an mencakup semua bidang keilmuan, baik keilmuan lama ataupun modern. Betul, lanjut al-Syathibi, al-Qur’an menyinggung dan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, namun  tidak berarti al-Qur’an mencakup semuanya, itu semua hanyalah isyarat saja dan bukan sebagai legitimasi semua disiplin ilmu.
Ayat yang sering dijadikan dalil adalah surat an-Nahl 89 yang berbunyi: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu”, dan surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi: “Tidaklah Kami lewatkan sesuatupun dari al-Qur’an”. Menurut al-Syathibi, kedua ayat di atas mempunyai makna tertentu. Ayat pertama mengenai masalah taklif dan ibadah sedangkan maksud al-kitab dalam ayat kedua adalah allauh al-mahfudz (Mu’allim dan Yusdani, 1999: 53: 61).
3.    Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha
Bagian ini menyatakan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntut-Nya. Masalah yang dibahas dalam bagian ini ada 12 masalah, namun semuanya mengacu kepada dua masalah pokok yaitu:
Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq). Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan manusia (al-Ghazali, 1997: 81). Dalam hal ini imam al-Syathibi mengatakan: “Setiaptaklif yang di luar batas kemampuan manusia, maka secara Syar’i taklif itu tidak sah meskipun akal membolehkannya” (al-Syatibi, t.t: 82).
Apabila dalan teks Syari’ ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Misalnya, firman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah larangan untuk memisahkan antara keislalman dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui seorangpun.
Begitu juga dengan sabda Nabi: “Janganlah kamu marah” tidak berarti melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri ketika marah atau menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.
Keduataklif yang di dalamnya terdapat masyaqqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh imam al-Syathibi. Menurut imam al-Syathibi, dengan adanya taklif, Syari’ tidak bermaksud menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf (al-Syathibi, t.t: 93). Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri pada masa berikutnya.
Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah amar makruf nahyil munkar. Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk merusak anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang lain.
Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka sesungguhnya ia bukanlah masyaqah tapikulfah, sesuatu yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana dalam kacamata adat, orang yang memikul barang atau bekerja siang malam untuk mencari kehidupan tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah satu keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah.  Demikian juga halnya dengan masalah ibadah. Masyaqah seperti ini menurut imam Syathibi disebut Masyaqah Mu’tadah karena dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan karenanya dalam syara’ tidak dipandang sebagai masyaqah (al-Syathibi, t.t: 94).
Yang dipandang sebagai masyaqah adalah apa yang disebutnya dengan Masyaqah Ghair Mu’tadah atau Ghair ‘Adiyyah yaitu masaqah yang tidak lazim dan tidak dapat dilaksanakan atau apabila dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Misalnya, keharusan berpuasa bagi orang sakit dan  orang jompo. Semua ini adalah masyaqah ghair mu’tadah yang dikecam oleh Islam. Untuk mengatasi masyaqah ini, Islam memberikan jalan keluar melalui rukhshah atau keringanan.
4.    Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah
Pembahasan bagian terakhir ini  merupakan pembahasan paling panjang mencakup 20 masalah. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum Syari’ah?” Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallafdari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang  dalam istilah imam al-Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran dan bukan yang idthiraran (al-Syathibi, t.t: 128). Atau dalam istilah Dr. Ahmad Zaid: Ikhrajul ‘abd min da’iyatil hawa ila daiyatil ‘ubudiyyah (Zaid, 13 Agustus 2002).
Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia batal dan tidak ada manfa’atnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa mengikuti petunjuk Syari’ dan bukan mengikuti hawa nafsu.
Berbicara maqashid al-syari’ah yang secara sistematis digagas oleh al-Syaithibi tidak bisa begitu saja dilepaskan dari para pendahulunya hingga imam Malik. Hal ini karena sebenarnya titik tekan dari ilmu maqashid adalah memberikan manfaat dan menolak mudharat. Karena itu arti maqashid al-syari’ah dan teori maslahah bisa dianggap sama (al-Jasani, 1995: 46), bahkan dikatakan bahwa maqashid al-syari’ah adalah maslahah itu sendiri.  Dalam hal ini al-Ghazali menyatakan:
“…Akan tetapi yang kami maksudkan dengan maslahah adalah memelihara maksud syari’at, sedangkan maksud syari’at itu ada lima; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila kelima hal tersebut tidak dipelihara, maka yang terjadi adalah kerusakan dan menjaganya adalah maslahah” (al-Ghazali, 1997: 1/286).
Untuk mencapai maksud syari’at dan maslahah yang diinginkan, pengambilan keputusan tidak bisa hanya disandarkan kepada satu teks al-Qur’an dan hadits, namun harus dilakukan dalam bentuk penelitian komprehensif kepada seluruh dalil, baik dalam bentuk teks maupun lainnya (al-Syathibi, 1982: 2/38). Ketidak pastian hadits ahad sudah jelas dan kepastian hadits mutawatir juga telah diakui secara universal, namun sebuah periwayatan dalam jangka waktu yang lama tidak bisa dijamin kepastianya, apalagi bahasa yang digunakan memiliki struktur yang komplek, metafora dan hanonim yang tidak mungkin berpindah tanpa adanya distorsi. Karena itu, kebenaran maksud syariat yang diakui adalah kebenaran yang diambil secara kolektif dari dalil-dalil yang ada. Metode inilah yang sering disebut sebagai istiqra’I (pembuktian induktif) (al-Syathibi, 1982: 1/31).
Pembuktian induktif ini tidak hanya menelaah satu atau dua teks, tapi menelaah semua sumber, dari al-Qur’an, hadits, ijma’, qiyas dan bukti-bukti kontekstual (al-Qara’in al-ahwal) (Hallaq, 2000: 244). Dia juga tidak boleh melewatkan sejarah kelahiran teks yang terekam dalam asbab al-nuzul dan asbab al-wurud, baik secara mikro maupun makro. Dalam pandangan ini, al-Qur’an dianggap sebagai satu kesatuan. Tidak ada ayat dan bagian pun yang dapat dipahami dengan semestinya tanpa memperhatikan bagian yang lain, termasuk perhatian terhadap peristiwa-peristiwa yang umum maupun kusus di mana al-Qur’an diturunkan (al-Syathibi, t.t: 347).
Selain itu, maksud syari’at atau maslahah umat harus dibuat atas dasar prinsip-prinsip universal yang oleh al-Syathibi dikatakan al-Kulliyat. Prinsip-prinsip umum (al-Kulliyat) inilah yang membentuk dasar-dasar syari’at. Prinsip-prinsip umum ini terbentuk dari prinsip-prinsip khusus (al-Juz’iyah). Al-juz’iyah merupakan bagian dari al-kulliyah, karena ketika al-juz’aiyah beridiri sendiri ia tidak berarti apa-apa. Begitu juga al-kulliyah tidak akan berarti apa-apa tanpa al-juz’iyah. Dalam proses pembuktian induktif ini, seluruh unsur al-juz’iyah bergabung dalam satu bentuk al-kulliyah, dan ketika ada al-juz’iyah tidak ikut dalam kesatuan tersebut, maka dia dikeluarkan dan menjadi hukum pengecualian. Untuk kepentingan ini dan dikatikan dengan dalil-dalil, maka al-Syathibi membahas naskh, ‘am, khas, mutasyabih, amr, nahyi dan lainnya (al-Syathibi, t.t : 3/8–10).
Satu point penting lainnya bahwa satu sisi, kemaslahatan itu bersifat relatif dan tidak absolut, tapi pada sisi lainnya kemaslahatan diartikan sebaliknya. Untuk menjawabnya dapat dikatakan bahwa maslahah memang untuk kepentingan manusia, tetapi dengan cara yang diatur oleh Tuhan, bukan berdasarkan kesewenang-wenangan manusia. Itulah sebabnya kewajiban menjalankan hukum yang sebenarnya untuk kemaslahatan manusia dianggap cukup berat, meskipun dengan cara-cara yang adil dan beralasan. Beratnya menjalankan hukum juga karena kemaslahan yang terbentuk tidak untuk mengakomodasi kehendak pribadi dan kesenangan hawa nafsu, karena pertimbangan dua kepentingan tersebut tidak akan menyebabkan timbulnya maslahah, sebaliknya mudlarat. Dalam hal ini, maslahah ditujukan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, maka dia harus ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh hukum ‘sekuler’ atau kebutuhan hidup manusia yang pragmatis (Hallaq, 2000: 269-270)



Posting Komentar untuk "Masaqid Al-Syariah Dalam Ushul Fiqih"