Maqasid Al-Syariah
Klasifikasi Maqashid
Berikut
ini akan ditelaah secara panjang lebar substansi maqashid al-syari’ah yang
terdapat dalam pemikiran al-Syathibi dan pemikir lainnya. Pembahasan ini
terfokus pada pemikiran maqashid dan dasar-dasar yang membangunnya.
Imam
al-Syathibi membahas maqashid al-syari’ah dalam kitabnya al-Muwafaqat juz
II sebanyak 313 halaman (menurut buku cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).
Persoalan yang dikemukakan di dalamnya sebanyak 62 masalah.
Dalam
pembahasannya, Imam al-Syathibi membagi al-maqashid ini kepada
dua bagian penting yakni maksud syari’ (qashdu al-syari’)
dan maksud mukallaf (qashdu al-mukallaf). Maksud syari’
kemudian dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah (maksud syari’ dalam menetapkan
syariat).
Dalam
bagian ini ada 13 permasalahan yang dikemukakan, namun semuanya mengacu kepada
suatu pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud syari’ dengan menetapkan
syari’atnya itu?”
Menurut
imam al-Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain
untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa
dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang
Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri (al-Syathibi,
t.t; 6). al-Syathibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting
yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat(skunder)
dan tahsinat (tersier, lux).
a. Dharuriyyat (primer)
Maqashid atau maslahat dharuriyyat adalah sesuatu
yang mesti adanya demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal
ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan
kehidupan seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya
(al-Syathibi, Juz II, t.t: 7). Yang termasuk maslahat atau maqashid
dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs),
keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql) (al-Syatibi,
Juz II, t.t: 8).[i]
Cara
untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu, pertama,
dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan
memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya, dan kedua,
dari segi tidak ada (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah
hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh:
1) Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya
shalat dan zakat,
2) menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya
jihad dan hukuman bagi orang murtad,
3) menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya
makan dan minum,
4) menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya
hukuman qishash dan diyat,
5) menjaga akal dari segi al-wujud misalnya
makan dan mencari ilmu,
6) menjaga akal dari segi al-‘adam misalnya
had bagi peminum khamr,
7) menjaga keturunan dari segial-wujud misalnya
nikah,
8) Menjaga keturunan dari segi al-‘adam misalnya
had bagi pezina dan muqdzif,
9) menjaga harta dari segi al-wujud misalnya
jual beli dan mencari rizki, dan
10) menjaga harta dari segi al-‘adam misalnya riba,
memotong tangan pencuri.
Cara
kerja dari kelima dlaruriyyat di atas adalah masing-masing
harus berjalan sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din harus
lebih didahulukan daripada menjaga yang lainnya; menjaga al-nafs harus
lebih didahulukan dari pada al-aql dan al–nasl begitu
seterusnya. Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan adalah membunuh diri
(Ing: sucide) atau menceburkan diri dalam kebinasaan adalah sesuatu
yang dilarang sebagaimana bunyi teks dalam surat al-Baqarah. Akan tetapi kalau
untuk kepentingan berjihad dan kepentingan agama Allah, menjadi boleh karena
sebagaimana telah disinggung di atas bahwa menjaga agama harus didahulukan dari
pada menjaga jiwa. Oleh kerena itu, sebagian besar para ulama membolehkan istisyhad para
pejuang Palestina dengan pertimbangan hukum di atas.
Akan
tetapi bagaimana dengan kasus orang sakit yang karena suatu kebutuhan
pengobatan boleh dilihat auratnya atau musafir yang boleh mengqashar shalat,
bukankah itu berarti al-nafs lebih didahulukan dari pada al-din?
Persoalan
ini sesungguhnya bukanlah persoalan baru. al-Amidy, misalnya, telah mengulas
secara panjang lebar dalam al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam (sebagian
membacanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam) juz IV halaman
243-245. Dalam kesempatan ini penulis akan mengutip pendapat Abdullah Darraz
karena lebih ringkas. Menurutnya bahwa dalam tataran umum agama harus lebih
didahulukan daripada yang lainnya karena ini menyangkut ushul al-din, sedangakan
dalam hal tertentu jiwa dan harta terkadang lebih didahulukan dari pada agama (mustatsnayyat).
Disinilah dibutuhkan kejelian seorang mujtahid (Daraz, Juz II, t.t: 154).
b. Hajiyyat (skunder)
Maqashid atau Maslahah
Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya
leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak
akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan masyaqqah dan
kesempitan. (al-Syathibi, t.t: 9). Misalnya, dalam masalah ibadah adalah
adanya rukhsah; shalat jama dan qashar bagi musafir.
c. Tahsinat (tersier, lux).
Maqashid atau Maslahah
Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan
keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka
tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan
menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya, hanya saja
dinilai tidak pantas dan tidak layak manurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Di
antara contohnya adalah thaharah, menutup aurat dan hilangnya najis
(al-Syathibi, t.t: 9).
Untuk
memperjelas maqashid atau maslahah dikaitkan dengan
tiga tingkat kepentingan; dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat,
maka perlu diterangkan keterkaitan atau cara kerjanya:
a. Memelihara Agama (hifz al-din)
Menjaga
dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
1) Memelihara agama dalam peringkat dlaruriyat,
yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat
primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Bila shalat ini diabaikan, maka
terancam eksistensi agamanya
2) Memelihara agama dalam peringkat hajiyat,
yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan,
seperti shalat jama’ dan qasar bagi musafir. Kalau ketentuan
ini tidak dilaksanakan, tidak mengancam eksistensi agama, cuma dapat
mempersulit pelaksanaannya.
3) Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyat,
yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia,
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya menutup
aurat baik di dalam maupun diluar shalat dan membersihkan pakaian, badan dan
tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji. Apabila semua itu
tidak dilakukan karena tidak memungkinkan, maka tidak mengamcam eksistensi
agama. Namun demikian, tidak berarti tahsiniyat itu dianggap
tidak perlu, sebab peringkat ini akan menguatkan dlaruriyat dan hajiyat.
b. Memelihara Jiwa (hifz al-nafs)
Memelihara
jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara jiwa pada peringkat dlururiyat adalah
memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau
kebutuhan pokok itu diabaikan akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa
manusia
2) Memelihara jiwa pada peringkat hajiyat adalah
dibolehkannya berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau
kegiatan ini diabaikan tidak akan mengancam eksistensi kehidupan manusia,
melainkan hanya dapat mempersulit hidupnya.
3) Memelihara jiwa pada peringkat tahsiniyat seperti
ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan
kesopanan dan etika. Sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia
atau mempersulitnya.
c. Memelihara Akal (hifz al-aql)
Memelihara
akan, dilihat dari kepentingannya dapat dibagi menjadi tiga perinkat:
1) Memelihara akan pada peringkat dlaruriyat,
seperti diharamkan minum minuman keras. Apabila ketentuan ini dilanggar akan
berakibat terancamnya eksistensi akal manusia.
2) Memelihara akal pada peringkat hajiyat,
seperti dianjurkan untuk menuntuk ilmu pengetahuan. Sekirannya kegiatan itu
tidak dilakukan tidak akan merusak eksistensi akal, akan tetapi dapat
mempersulit seseorang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan akhirnya
berimbas kesulitan dalam hidup.
3) Memelihar akal pada peringkat tahsiniyat,
menghindarkan diri dari kegiatan menghayal dan mendengarkan atau melihat
melihat sesuatu yang tidak berfaedah. Kegiatan itu semua tidak secara langsung
mengancam eksistensi akal manusia.
d. Memelihara Keturunan (hifz al-nasl)
Memelihara
keturunan, ditinjau dari kebutuhannya dapat dibagi menjadi tiga:
1) Memelihara keturunan pada peringkat dlaruriyat,
seperti disyariatkannya menikah dan dilarangnya berzina. Apabila hal ini
diabaikan dapat mengancam eksistensi keturunan.
2) Memelihara keturunan pada peringkat hajiyat,
seperti ditetapkan menyebut mahar bagi suami ketika melangsungkan akad nikah
dan diberikannya hak talak kepadanya. Bila penyebutan itu tidak dilakukan maka
akan mempersulit suami, karena diharuskan membayar mahar misl. Juga talak, bila
tidak dibolehkan akan mempersulit rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan
lagi.
3) Memelihara keturunan pada peringkat
tahsiniyat, seperti disyariatkannya khitbah (peminangan) dan walimah (resepsi)
dalam pernikahan. Hal ini dilakukan untuk melengkapi acara pernikahan. Bila
tidak dilakukan tidak mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula
mempersulit.
e. Memelihara Harta (hifz al-maal)
Memelihara
harta, ditinjau dari kepentingannya dibagi menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara harta pada peringkat dlaruriyat,
seperti disyariatkan tata cara kepemilikan melalui jual beli dan dilaranganya
mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar seperti mencuri. Apabila
aturan ini dilanggar akan mengancam eksistensi harta
2) Memelihara harta pada peringkat hajiyat,
seperti disyariatkannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini
tidak dipakai tidak akan mengancam eksistensi harta
3) Memelihara harta pada peringkat tahsiniyat,
seperti perintah menghindarkan diri dari penipuan dan spekulatif. Hal ini
berupa etika bermuamalah dan sama sekali tidak mengancam kepemilikan harta
apabila diabaikan. (Mu’allim dan Yusdani, 1999; 58-61)
2. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah lil
Ifham (maksud Syari’
dalam menetapkan syari’ahnya ini adalah agar dapat dipahami).
Bagian
ini merupakan pembahasan yang paling singkat karena hanya mencakup 5 masalah.
Dalam menetapkan syari’atnya, Syari’ bertujuan agar mukallaf dapat memahaminya,
itulah maksud dari bagian kedua.
Ada
dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syari’ah
ini diturunkan dalam Bahasa Arab sebagaimana firmanNya dalam surat Yusuf ayat
2; as-Syu’ara: 195. Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih
dahulu memahami seluk beluk dan uslub Bahasa Arab.
Dalam
hal ini imam al-Syathibi berkata: “Siapa orang yang hendak memahaminya, maka
dia seharusnya memahami dari sisi lidah Arab terlebih dahulu, karena
tanpa ini tidak mungkin dapat memahaminya secara mantap. Inilah yang menjadi
pokok dari pembahasan masalah ini” (Mu’allim dan Yusdani, 1999: 50).
Dengan
bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk memahami syari’at
ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab
seperti ushul fiqih, mantiq, ilmu ma’ani dan yang lainnya. Karenanya, tidaklah
heran apabila bahasa Arab dan ushul fiqih termasuk persyaratan pokok yang harus
dimiliki seorang mujtahid.
Kedua, bahwa syari’at
ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya tidak membutuhkan
bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini
dimaksudkan agar syari’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila
untuk memahami syari’at ini memerlukan bantuan ilmu lain seperti ilmu alam,
paling tidak ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu
kendala dalam hal pemahaman dan dalam pelaksanaan (Mu’allim dan Yusdani, 1999:
53). Syari’ah mudah dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja
karena ia berpangkal kepada konsep maslahah (fahuwa ajraa
‘ala i’tibari al-maslahah) (Mu’allim dan Yusdani, 1999: 53)
Di
antara landasan bahwa syari’at ini ummiyyah adalah karena
pembawa syari’at itu sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummi sebagaimana
ditegaskan dalam firmanNya surat al-Jum’ah ayat 2, al-Araf ayat 158, al-Ankabut
48 dan keterangan-keterangan lainnya.
Ada
kecenderungan berlebihan dari sebagian ulama yang tidak sesuai dengan sifatsyari’ah
ummiyyah ini, lanjut al-Syathibi, yaitu bahwa al-Qur’an mencakup semua
bidang keilmuan, baik keilmuan lama ataupun modern. Betul, lanjut al-Syathibi,
al-Qur’an menyinggung dan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, namun
tidak berarti al-Qur’an mencakup semuanya, itu semua hanyalah isyarat saja dan
bukan sebagai legitimasi semua disiplin ilmu.
Ayat
yang sering dijadikan dalil adalah surat an-Nahl 89 yang berbunyi: “Dan Kami
turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu”, dan
surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi: “Tidaklah Kami lewatkan sesuatupun
dari al-Qur’an”. Menurut al-Syathibi, kedua ayat di atas mempunyai makna
tertentu. Ayat pertama mengenai masalah taklif dan ibadah
sedangkan maksud al-kitab dalam ayat kedua adalah allauh
al-mahfudz (Mu’allim dan Yusdani, 1999: 53: 61).
3. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah li
al-Taklif bi Muqtadhaha
Bagian
ini menyatakan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk
dilaksanakan sesuai dengan yang dituntut-Nya. Masalah yang dibahas dalam bagian
ini ada 12 masalah, namun semuanya mengacu kepada dua masalah pokok yaitu:
Pertama,
taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq).
Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui
bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar
batas kemampuan manusia (al-Ghazali, 1997: 81). Dalam hal ini imam al-Syathibi
mengatakan: “Setiaptaklif yang di luar batas kemampuan manusia,
maka secara Syar’i taklif itu tidak sah meskipun akal
membolehkannya” (al-Syatibi, t.t: 82).
Apabila
dalan teks Syari’ ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan
manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi
sebelumnya. Misalnya, firman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam
keadaan muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah
kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah
larangan untuk memisahkan antara keislalman dengan kehidupan di dunia ini
karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui seorangpun.
Begitu
juga dengan sabda Nabi: “Janganlah kamu marah” tidak berarti melarang marah,
karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan
tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri ketika marah atau
menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.
Kedua, taklif yang
di dalamnya terdapat masyaqqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi
masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh imam
al-Syathibi. Menurut imam al-Syathibi, dengan adanya taklif, Syari’
tidak bermaksud menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf)
akan tetapi sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf (al-Syathibi,
t.t: 93). Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit yang
diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti memberikan kesulitan baru
bagi sang pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri
pada masa berikutnya.
Dalam
masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak
dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah amar makruf
nahyil munkar. Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi pencuri, tidak
dimaksudkan untuk merusak anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta
orang lain.
Apabila
dalam taklif ini ada masyaqah, maka sesungguhnya
ia bukanlah masyaqah tapikulfah, sesuatu yang tidak
mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana dalam kacamata adat,
orang yang memikul barang atau bekerja siang malam untuk mencari kehidupan
tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah satu
keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian juga halnya dengan
masalah ibadah. Masyaqah seperti ini menurut imam Syathibi
disebut Masyaqah Mu’tadah karena dapat diterima dan
dilaksanakan oleh anggota badan dan karenanya dalam syara’ tidak dipandang
sebagai masyaqah (al-Syathibi, t.t: 94).
Yang
dipandang sebagai masyaqah adalah apa yang disebutnya dengan Masyaqah
Ghair Mu’tadah atau Ghair ‘Adiyyah yaitu masaqah yang
tidak lazim dan tidak dapat dilaksanakan atau apabila dilaksanakan akan
menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Misalnya, keharusan berpuasa bagi orang
sakit dan orang jompo. Semua ini adalah masyaqah ghair mu’tadah yang
dikecam oleh Islam. Untuk mengatasi masyaqah ini, Islam
memberikan jalan keluar melalui rukhshah atau keringanan.
4. Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta
Ahkam al-Syari’ah
Pembahasan
bagian terakhir ini merupakan pembahasan paling panjang mencakup 20
masalah. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa mukallaf
melaksanakan hukum Syari’ah?” Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallafdari
tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba
yang dalam istilah imam al-Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran dan
bukan yang idthiraran (al-Syathibi, t.t: 128). Atau dalam
istilah Dr. Ahmad Zaid: Ikhrajul ‘abd min da’iyatil hawa ila daiyatil
‘ubudiyyah (Zaid, 13 Agustus 2002).
Untuk
itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia batal dan tidak ada
manfa’atnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa mengikuti petunjuk
Syari’ dan bukan mengikuti hawa nafsu.
Berbicara maqashid
al-syari’ah yang secara sistematis digagas oleh al-Syaithibi tidak
bisa begitu saja dilepaskan dari para pendahulunya hingga imam Malik. Hal ini
karena sebenarnya titik tekan dari ilmu maqashid adalah
memberikan manfaat dan menolak mudharat. Karena itu arti maqashid
al-syari’ah dan teori maslahah bisa dianggap sama (al-Jasani, 1995:
46), bahkan dikatakan bahwa maqashid al-syari’ah adalah
maslahah itu sendiri. Dalam hal ini al-Ghazali menyatakan:
“…Akan
tetapi yang kami maksudkan dengan maslahah adalah memelihara maksud syari’at, sedangkan
maksud syari’at itu ada lima; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Apabila kelima hal tersebut tidak dipelihara, maka yang terjadi adalah
kerusakan dan menjaganya adalah maslahah” (al-Ghazali, 1997: 1/286).
Untuk
mencapai maksud syari’at dan maslahah yang diinginkan, pengambilan keputusan
tidak bisa hanya disandarkan kepada satu teks al-Qur’an dan hadits, namun harus
dilakukan dalam bentuk penelitian komprehensif kepada seluruh dalil, baik dalam
bentuk teks maupun lainnya (al-Syathibi, 1982: 2/38). Ketidak pastian hadits
ahad sudah jelas dan kepastian hadits mutawatir juga telah diakui secara
universal, namun sebuah periwayatan dalam jangka waktu yang lama tidak bisa
dijamin kepastianya, apalagi bahasa yang digunakan memiliki struktur yang
komplek, metafora dan hanonim yang tidak mungkin berpindah tanpa adanya
distorsi. Karena itu, kebenaran maksud syariat yang diakui adalah kebenaran
yang diambil secara kolektif dari dalil-dalil yang ada. Metode inilah yang
sering disebut sebagai istiqra’I (pembuktian induktif)
(al-Syathibi, 1982: 1/31).
Pembuktian
induktif ini tidak hanya menelaah satu atau dua teks, tapi menelaah semua
sumber, dari al-Qur’an, hadits, ijma’, qiyas dan bukti-bukti kontekstual (al-Qara’in
al-ahwal) (Hallaq, 2000: 244). Dia juga tidak boleh melewatkan sejarah
kelahiran teks yang terekam dalam asbab al-nuzul dan asbab
al-wurud, baik secara mikro maupun makro. Dalam pandangan ini, al-Qur’an
dianggap sebagai satu kesatuan. Tidak ada ayat dan bagian pun yang dapat
dipahami dengan semestinya tanpa memperhatikan bagian yang lain, termasuk
perhatian terhadap peristiwa-peristiwa yang umum maupun kusus di mana al-Qur’an
diturunkan (al-Syathibi, t.t: 347).
Selain
itu, maksud syari’at atau maslahah umat harus dibuat atas dasar prinsip-prinsip
universal yang oleh al-Syathibi dikatakan al-Kulliyat.
Prinsip-prinsip umum (al-Kulliyat) inilah yang membentuk dasar-dasar
syari’at. Prinsip-prinsip umum ini terbentuk dari prinsip-prinsip khusus (al-Juz’iyah). Al-juz’iyah merupakan
bagian dari al-kulliyah, karena ketika al-juz’aiyah beridiri
sendiri ia tidak berarti apa-apa. Begitu juga al-kulliyah tidak
akan berarti apa-apa tanpa al-juz’iyah. Dalam proses pembuktian
induktif ini, seluruh unsur al-juz’iyah bergabung dalam satu
bentuk al-kulliyah, dan ketika ada al-juz’iyah tidak
ikut dalam kesatuan tersebut, maka dia dikeluarkan dan menjadi hukum
pengecualian. Untuk kepentingan ini dan dikatikan dengan dalil-dalil, maka
al-Syathibi membahas naskh, ‘am, khas, mutasyabih, amr, nahyi dan
lainnya (al-Syathibi, t.t : 3/8–10).
Satu
point penting lainnya bahwa satu sisi, kemaslahatan itu bersifat relatif dan
tidak absolut, tapi pada sisi lainnya kemaslahatan diartikan sebaliknya. Untuk
menjawabnya dapat dikatakan bahwa maslahah memang untuk kepentingan manusia,
tetapi dengan cara yang diatur oleh Tuhan, bukan berdasarkan
kesewenang-wenangan manusia. Itulah sebabnya kewajiban menjalankan hukum yang
sebenarnya untuk kemaslahatan manusia dianggap cukup berat, meskipun dengan
cara-cara yang adil dan beralasan. Beratnya menjalankan hukum juga karena
kemaslahan yang terbentuk tidak untuk mengakomodasi kehendak pribadi dan
kesenangan hawa nafsu, karena pertimbangan dua kepentingan tersebut tidak akan
menyebabkan timbulnya maslahah, sebaliknya mudlarat. Dalam hal ini, maslahah
ditujukan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, maka dia harus
ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh hukum ‘sekuler’ atau kebutuhan hidup manusia
yang pragmatis (Hallaq, 2000: 269-270)
Posting Komentar untuk "Masaqid Al-Syariah Dalam Ushul Fiqih"