Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil
hukum Islam. Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma` dan Qiyas yang kedudukannya
sudah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah
salah satu metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak
semuanya.
Al-Imam Asy-Syafi`i
dalam mazhabnya termasuk kalangan ulama yang tidak menerima istihsan dalam
merujuk sumber-sumber syariah Islam. Sebaliknya, Al-Imam Abu Hanifah justru
menggunakannya. samping madzhab Hanafi, termasuk sebagian madzhab Maliki
danmadzhab Hambali.
Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh,
ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara`.
Istihsan menurut
bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik sedangkan menurut istilah menurut
ulama ushul adalah berpaling seorang mujtahid dari tutunanan qiyas yang jalli(
Nyata) kepaa tutunnan qiyas yang Kaffiy(samar), atau dari hukum Kulli (umum)
kepada hukum yang istisnaiy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan mencela
akalnya dan ada yang berpaling dari padanya.
Jadi
singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum
kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan
untuk meninggalkannya.
Misal yang paling
sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi
pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri
harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini
ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini
adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa
atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus
dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu,
pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat,
tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Khilaf Tentang Dasar
Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan
tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi`i dan
mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan
hawa nafsu.
Imam Syafi`i berkata,
“Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum
syara` berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum
syara` hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan
beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti
orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan
bahwa arah itu adalah arah Ka`bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat
syara` untuk menentukan arah Ka`bah itu.”
Namun kalau diteliti
lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi
berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi`i.
Menurut Madzhab
Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan,
bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi`i, istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya
istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu
asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan
hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya
semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu
sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara` dan sesuai pula dengan
kaidah-kaidah syara` yang umum.”
Contoh Istihsan
Menurut madzhab Abu
Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan
menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalahhak pengairan,
hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut
qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh
mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.
Pada jual beli yang
penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf
diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.
Sedang menurut
istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada
sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh
manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.
Demikian pula halnya
dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu
dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh
pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali),
maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan
pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu
sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini
ada persamaan `illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau
harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu
tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh Lain
Menurut Madzhab
Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah
suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal seharusnya
kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang
buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya.
Sedangkan menurut
qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut
binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat
tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya,
demikian pula air liurnya.
Dalam hal ini keadaan
yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang
buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Macam-Macam Istihsan
§ Istihsan
dilihat dari aspek pengalihan
Ada tiga contoh dalam
kasus ini.
§ Mengalihkan
qiyas zhohir mengambil qiyas khofi.
Contohnya pada kasus
tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban mengairi
tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian tersebut,
apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya. Alasannya karena qiyas zhohir,
yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi
atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad yang
disepakatinya/ dikemukannya.Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka
kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf. Alasannya
mengalihkan/mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi. Karena
tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari pertaniantersebut.
Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/mendatang-kan manfaatapabila tidak
diairi.
§ Mengalihkan
nash yang bersifat umum, mengambil hukum khusus. Contohnya pada
kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena
kejadiannya saat terjadi musim paceklik/kelaparan. Padahal ayat potong tangan
itu cukup jelas (5/38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak
boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu
miliki” [HR. Ahmad ]. Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam
dibolehkan. Sabda Nabi saw ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus
jelas ukuran, timbangan dan watunya” [HR. Bukhori]
§ Mengalihkan/mengabaikan
hukum kulli mengambil hukum istitsna’I (pengkecualiaan).
Contohnya pada orang
yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum, puasanya batal karena salah
satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun karena ada dalil khusus yang
mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu sabda Nabi saw: “Siapa yang
lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan
puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah”.
2. Istihsan dilihat
dari sanad/sandaran yang digunakan dalam pengalihan/ pengabaian.
Ada beberapa bentuk
dalam hal ini, diantaranya adalah:
§ Istihsan
yang sanad/sandarannya berupa quwwatul atsar/riwayat yang kuat.
Contohnya pada kasus
sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang, rajawali atau burung
pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu menjadi najis. Yaitu
apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan illatnya yaitu
sama-sama hewan yang dagingnya haram dimakan. Namun apabila dilihat dari
kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan burung minum
dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang yang kering.
Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air
liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.
§ Istihsan
yang sandarannya berupa maslahat
Contohnya pada kasus
‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada banyak orang) seperti tukang
jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan. Dilihat dari kacamata qiyas, ia
tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya. Namun apabila dilihat
dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang
tidak disia-siakan.
§ Istihsan
yang sandarannya berupa ijma
Contohnya pada kasusu
akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal. Sebab objek
akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi transaksi model ini
telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia dipandang sebagai ijma’ atau
’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti
merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat.
§ Istihsan
yang sandarannya berupa qiyas
Contohnya pada kasus
wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya seluruh tubuh wanita
adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat sebagaian tubuhnya karena
hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh seorang dokter. Di sini
terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang wanita adalah aurat,
memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi lain akan terjadi
masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at taysir
(memudahkan).
§ Istihsan
yang sandarannya darurat.
Contohnya pada sumur
yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat tidak mungkin. Karena
alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan najis tersebut. Namun
dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.
§ Istihsan
yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)
Contoh orang yang
bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia makan ikan.
Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an menyebut ikan
dengan kata ”lahman toriyyan” . Namun berdasarkan ’urf, ikan itu berbeda dengan
daging.
Posting Komentar untuk "Istihsan Dalam Ushul Fiqih"